Marco mengangguk mengerti.

“Nggak masalah, kalian jalan aja. Lagian hari ini kan nggak ada tugas. Kalau Galang nggak jadi ngajak jalan, aku paling nerusin pengamatan di ruangan Om Dewo.”

“Baguslah.”

“Kira-kira kalian berdua pulang jam berapa?” lanjut Marco lagi sembari membenahi letak tali tas di bahunya.
Floriska menaikkan bahunya.

“Aku nggak tahu, mungkin malam. Soalnya sekalian ketemu Arga di toko buku.”

Seketika Marco berhenti melangkah. Tali tas yang baru saja dia benarkan posisinya kembali melorot ke lengannya. Matanya memandang Floriska dengan tak percaya.

“Kalian janjian jalan bareng?” tanya Marco langsung dengan wajah terkejut.

Melihat ekspresi Marco yang seperti itu membuat Floriska mendengus. Selalu saja sahabatnya itu bereaksi berlebihan seakan sedang disuruh memilih antara hidup atau mati.

Sebenarnya Floriska enggan memberitahu Marco akan rencananya dengan Arga, karena tidak tahan melihat reaksi Marco yang seperti ini. Tapi lebih rumit lagi jika nanti Marco tiba-tiba tahu.

“Kami berdua butuh buku panduan baru yang direkomendasikan Bu Isma waktu bimbingan pertama. Pulang sekolah tadi Arga langsung ke Perpustakaan Kota buat cari bukunya, tapi nggak ada. Jadi, kami janjian di toko buku buat cari bareng. Sekalian aku ngantar Bio,” terang Floriska pelan-pelan agar Marco tidak salah paham. Tapi usahanya itu tampak sia-sia karena Marco masih saja berdiri membeku di tempatnya dengan mulut sedikit terbuka.

“Ah, Marco, biasa aja deh,” seru Floriska karena cowok itu tak kunjung menjawab. Dia sedikit merasa kesal melihat ekspresi Marco yang seperti baru saja kehilangan roh itu.

“Aku biasa aja kok,” koreksi Marco kemudian dengan sangat tak meyakinkan.

Floriska mengentakkan kaki lalu berjalan mendahului cowok itu sambil mengomel. Marco mengikuti langkahnya dengan pelan.

“Aku benar-benar nggak sengaja keluar dengan Bio demi bertemu Arga, tapi ini benar-benar kebetulan karena aku udah merencanakan ke toko buku bersama Bio sejak minggu kemarin. Cuma karena kita selalu dapat banyak tugas, jadi rencana itu terus mundur. Lagi pula habis ini Bio ulang tahun, aku pengin tahu apa yang dia pengin selain buku Harry Potter seri ketiga,” jelas Floriska dengan nada sedikit kesal.

“Aku tahu, aku tahu, nggak usah ngambek gitu dong. Aku kan cuma tanya,” balas Marco pelan. “Tapi tetap aja kalian janjian jalan bareng,”
Floriska berhenti melangkah, lalu berbalik menghadap Marco yang tampak terkejut melihatnya tiba-tiba berbalik.

“Memangnya kenapa kalau aku jalan bareng sama Arga? Kamu khawatir dia mesum atau karena kamu cemburu?” tanya Floriska serius. Sesaat yang lalu, dia mengingat ucapan Mbak Alma tentang perilaku Marco yang wanita itu sebut sebagai reaksi cemburu dan Floriska begitu ingin memastikannya. Sayangnya, ketika ditodong pertanyaan seperti itu, Marco malah diam seribu bahasa.

“Aku… nggak cemburu,” jawab Marco akhirnya sembari memalingkan wajahnya ke arah lain. “Kenapa sih Flo, gitu amat?” lanjutnya mendadak galak ketika merasa kesal dipindai oleh mata lebar Floriska.

“Kalau gitu biasa aja, ini kan bukan kencan atau semacam itu,” tanggap Floriska kesal lalu kembali meneruskan perjalanan menyusuri jalan setapak dengan langkah cepat.

***

“Ngapain lo ke sini? Perasaan tadi gue nggak janjian buat ngajak lo jalan malam ini.”

“Justru karena lo nggak ngajak gue jalan malam ini, jadinya gue yang ngajak lo jalan sekarang,” jelas Marco pada Galang yang tampak bingung melihat Marco tiba-tiba datang ke rumahnya tanpa konfirmasi apa pun. “Buruan ganti baju, gue tunggu.”

KAIROSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang