Epilog

5.7K 305 54
                                    

Dua minggu telah berlalu. Kini Rumah Sakit hanya menjadi sebuah kenangan.

Langit malam nampak bersahabat. Taburan bintang dan satu cahaya bulan memberi penerangan pada kegelapan. Semilir angin malam tertiup dengan tenang.

Di hamparan taman belakang rumah Wijaya telah menyala satu buah api unggun yang kini telah dikelilingi para remaja dengan wajah bahagianya. Suara tawa terdengar hampir di seluruh penjuru taman.

Yang muda memilih bernyayi di depan api unggun sementara yang tua lebih memilih bersantai di atas karpet sembari menikmati minuman hangat.

"Apasih?" Leta mendorong tubuh Azka yang duduk di sampingnya.

"Jangan marah-marah dong mama. Aku cuman butuh pelukan hangat, di sini dingin," kata Azka frontal.

"Gue bukan emak lo!"

"Iya, aku tahu. Kamu kan mamanya anak-anak kita,"

Leta memasang mimik wajah ingin muntah, "Najis! Gue mana mau sama lo mending sama bebeb Manu. Ganteng nggak kayak lo!"

"Lha, Dia aja nggak tahu kamu ada di dunia ini atau nggak," ledek Azka.

"Tapi dia lebih nyata daripada lo yang nggak jelas!"

Azka meremas dadanya. Gitar yang ada di pangkuannya mulai ia mainkan.

Pernah sakit...
Tapi tak pernah sesakit ini...
Karna pernah cinta...
Tapi tak pernah sedalam ini...

"Stop! Suara lo pales tau nggak?!"

Azka terdiam. Raut wajahnya berubah datar. Gitar yang ada di pangkuannya ia lepaskan.

"Maaf," ucapnya.

Leta mengernyit heran.

Keheningan tercipta. Azka membuat semua yang berada di sekitar api unggun keheranan. Tidak biasanya Azka seperti ini. Sikapnya yang sedari tadi kocak bak cacing kepanasan kini terlihat seperti cacing keracunan.

Prut!

Angin keluar dari bawah sana. Suara yang keluar terdengar menjijikkan. Semua masih bungkam. Hening tercipta sampai Leta menendang Azka hingga terbaring di atas rumput.

"Dasar jorok! Kalau mau kentut itu jauh-jauh dong, jangan asal keluarin di sembarang tempat. Kayak nggak punya etika banget sih,"

Azka tertawa terpingkal-pingkal yang lain juga ikut tertawa. Hanya Leta yang sudah terbakar api dalam dirinya.

Keyla mulai muncul, mendekat ke arah krumunan teman dan keluarganya. Kedua tangan gadis itu mendorong kursi roda dari pria yang benar-benar sangat ia cintai.

Naufal, ia terduduk di atas kursi roda dengan kepala yang masih terperban.

Setiap detik berubah menjadi berharga. Baik Keyla maupun Naufal, keduanya sama-sama tak ingin berbuat kesalahan. Perpisahan yang sudah mereka lewati menjadi sebuah alasan di mana mereka tidak lagi ingin berpisah.

"Pangeran dan princes datang, oh."

"Mentang-mentang udah direstuin mereka hampir lupa sekitar. Dunia dianggap milik berdua."

"Kita mah bisa apa. Mereka udah kayak pemilik bumi. Yang lain dianggap cuman numpang gitu."

Goda-godaan itu berasal dari teman-temannya. Keyla hanya tersipu malu. Rona merah bahkan sudah muncul di kedua pipinya. Beda halnya dengan Naufal yang malah nampak biasa-biasa saja.

Naufal menatap Keyla, "Maklumlah mereka jomblo, Yang." katanya dengan mengidipkan sebelah mata.

Jangan tanya kan bagaimana reaksi Keyla. Gadis itu semakin tersipu. Detak jantungnya berpompa tak karuan sampai ia pikir mungkin sahabat-sahabatnya akan membunuhnya secara perlahan. Detak jantung itu benar-benar menggila. Perutnya terasa diterbangi kupu-kupu sekarang.

Inesperado | ✔Where stories live. Discover now