34. Terungkap

3.1K 206 27
                                    

Kini tubuh itu terbaring di atas kasur. Matanya terpejam membawa tanda kelelahan. Vacha merasa lelah hingga rasanya ia tak ingin lagi menatap dunia yang pernah menjadi impiannya. Kamar tempatnya terbaring adalah kamar milik orang lain. Gadis itu merasa dirinya perebut kebahagiaan orang.

Kemana kebahagiaan sesungguhnya yang dapat ia temui jika semesta seperti bermain. Langit kelamnya telah membawanya ke sebuah pulau kesedihan. Vacha sadar jika terus berada di tengah orang asing hanya akan membuatnya semakin merasa bersalah.

Setetes air mata mulai keluar dari kelopak matanya. Tangisan dalam kebisuan menjadi sebuah jawaban tersirat. Ia takut, takut akan sesuatu yang buruk kembali hadir, menjadi hadiah yang tidak ia inginkan.

Mata Vacha terbuka. Orang-orang yang berkumpul di dalam ruangan mendekat panik ke arahnya.

"Vacha, mama-,"

"Aku mau sendiri," potong Vacha tanpa menatap siapapun.

Langit-langit kamar menjadi penonton dari tatapannya yang piluh. Dinding menjadi saksi dari isakan kecil yang keluar dari bibirnya. Setelah semua orang keluar, Vacha semakin meluapkan semua rasa yang terpendam. Kecewa tentunya lebih mendominasi perasaan gadis itu.

"Maaf, gue nggak bisa ngerusak kebahagian orang lain." gadis itu mulai mengubah posisinya.

Vacha menghapus air mata yang membasahi pipinya. Gadis itu bangkit dari kasur, "Gue harus pergi,"

Vacha mengambil tali yang terdapat di atas lemarinya. Di ikatnya tali itu pada pagar besi di balkon, lantas ia bergantung menuruni lantai satu. Telapak kakinya yang polos tanpa alas mulai berpijak pada rumput di halaman rumahnya. Dinginnya angin malam menusuk kulit gadis itu. Keinginannya untuk meninggalkan rumah itu sudah bulat.

Vacha berlari keluar dari rumah melalui pagar samping. Tidak ada yang mengetahui kepergiannya.

Langkahnya terus berjalan menjauhi rumah yang seharusnya menjadi tempat perlindungan. Semesta terasa sedang mengejek dirinya, bulan dan bintang nampak memancarkan cahayanya membuat bumi terlihat terang, berbanding terbalik dengan dirinya yang buta akan arti dari terang. Gelaplah yang mendominasi perasaan gadis itu.

Suara hiruk-pikuk keramaian ibu kota tak bisa mengambil fokus gadis itu. Dia nampak kosong tanpa kehidupan. Vacha terus melangkah tanpa arah. Terkadang hidup memang penuh akan ujian-ujian yang tak terduga. Melimpahkan sebuah kenyataan yang mengiris. Seperti Vacha.

Langkah gadis itu memasuki kawasan sunyi. Mamasuki area perumahan. Vacha masih melamun. Sudah 2 jam dia berjalan tanpa arah hingga tubuhnya mulai merasa lelah gadis itu pun mengambil duduk di pinggir jalan. Tatapan gadis itu tertuju ke sebuah rumah tinggi berlantai dua yang nampak sunyi.

"Aku bukan bagian dari rumah ini!"
"Kalian lupa sama aku!"
"Kamu mau buat keluarga kita malu?!"

Lagi, suara memilukan itu kembali hadir. Vacha menggeleng hingga denyutan kembali menyerangnya. Dengan gerakan lambat ia berdiri. Berusaha memopong tubuhnya seorang diri.

Tanpa sadar, Vacha berjalan dengan linglung. Napasnya tersegal. Keringat dingin mulai membanjiri pelipisnya. Potongan-potongan ingatan timbul secara sporadis di benaknya. Vacha terus memegangi kepalanya berusaha melawan ngilu yang terus menyerang tanpa ampun.

Jalanan yang lenggang membuat truk melaju dengan kecepatan di atas rata-rata. Lampu sorotnya menciptakan cahaya pada jalanan. Pengemudi tidak menyadari seseorang tiba-tiba berjalan ke tengah jalan yang hendak dia lalui.

Gadis itu masih terus memegangi kepalanya sementara kakinya terus melangkah ke tengah jalan. Suara klakson yang berbunyi ke arahnya membuat gadis itu menoleh. Tubuhnya kaku kala melihat truk mendekatinya dengan kecepatan cepat. Otaknya terasa tidak lagi berfungsi.

Inesperado | ✔Where stories live. Discover now