31. Paket

2.4K 183 18
                                    

Hari terus berjalan. Waktu terus berganti. Vacha terduduk di balkon rumah seorang diri. Hari ini gadis itu merasa tidak ingin ke kampus, menatap orang-orang saja rasanya sangat membosankan. Sinar matahari menyinari wajahnya yang sedari tadi melamun.

Sengaja ia tidak turun mengantar kedua orang tuanya yang ingin keluar kota. Bukan karena marah, hanya saja dia merasa berat untuk melihat itu. Gisel sengaja diperintahkan untuk tinggal dirumah ini. Walaupun mereka dalam situasi tidak saling bicara, tetap saja Gisel mengikuti perintah paman dan bibinya. Gadis itu memang selalu menuruti kemauan Chayadi dan Sela.

"Paman titip dia," kata Chayadi kepada Gisel.

"Baik paman,"

"Dia itu agak keras kepala. Kau tahu itu kan?"

"Iya, Gisel pasti akan jaga dia dengan baik. Bakal Gisel anggap ratu."

Sela menyapu lembut rambut Gisel, "Lusa Bibi sama paman pulang,"

"Gisel tunggu hadiah terbaik,"

"Iyaaa,"

Mobil pribadi akhirnya mengantar sang majikan dan nyonyanya meninggalkan rumah itu. Vacha yang berada di atas balkon masih bisa melihat kepergian kedua orang tuanya. Dia merasa sangat tidak sopan karena hanya membiarkan Gisel yang mengantarnya hingga pintu sementara dia hanya bisa berdiri dari kejauhan.

Siang yang seolah menjelma menjadi sore. Cuaca berubah menjadi mendung. Angin tertiup dengan tenang. Pepohonan seakan berayun. Rambut Vacha yang dibiarkan tergerai mulai ikut berayun bersama tiupan angin. Tatapan gadis itu masih terus mengikuti laju mobil kedua orang tuanya hingga mobil itu menghilang barulah dia masuk ke dalam kamarnya.

Vacha mulai turun dari lantai satu ketika dirasa kedua orang tuanya benar-benar sudah pergi. Gadis itu hanya meneguk air di dalam dapur lalu kembali berjalan ke lantai dua, letak kamarnya. Masih berada di tangga kedua, Vacha terhenti melangkah ketika didengar suara ponsel ibunya sedang berdering dari dalam kamar wanita itu.

Agak malas Vacha memasuki kamar itu. Gerakannya dengan santai mengangkat telpon.

"Mama kapan sampainya?" tanya si penelpon dengan nada merengek.

Mendengar itu, Vacha segera melihat nama yang tertera pada layar ponsel. Agak heran mendengar seseorang memanggil mamanya dengan sebutan mama. Tak ada nama yang tertera pada layar ponsel itu, hanya nomor dari negara asing.

"Aku mau ikut mama,"

Vacha mengernyit. Dalam benaknya ia hanya mengira itu panggilan salah sambung.

"Ma, Va-,"

Belum sempat orang itu menyelesaikan perkataannya Vacha sudah memutuskan telpon secara sepihak kemudian menaruh ponsel itu kembali ke tempatnya.

"Non, ada pengantar surat," kata salah satu pembantu rumahnya ketika Vacha baru keluar dari dalam kamar.

"Buat siapa, bi?"

"Buat non Vacha,"

"Bibi aja yang terima, ntar bawa ke kamar Vacha."

"Katanya harus non yang terima langsung,"

"Bibi ajalah. Saya ada urusan,"

Vacha berlalu. Tujuannya hanya kamar. Urusan penting yang dia maksud hanyalah alasan belaka. Vacha terbaring di atas kasur, kini dia terlihat seperti pemalas. Kerjanya hanya terus mengurung di dalam kamar. Jika terbangun, waktunya hanya dia isi ke kampus.

Menatap langit-langit kamar dalam kesunyian adalah hal yang sangat disukai Vacha ketika dirinya hanya dibiarkan di dalam rumah. Tubuhnya dia biarkan telentang, tidak seluruh badan berada pada atas kasur sebab sebagian kakinya dia biarkan menginjak karpet dengan kedua tangan memeluk guling yang ada di atas tubuhnya.

Inesperado | ✔Where stories live. Discover now