Bab 20

899 142 9
                                    

Nirmala merasa dadanya berdenyut nyeri.

Ia memejamkan kedua matanya lamat-lamat, menarik napas, berupaya agar rasa nyeri tersebut lenyap. Namun, nihil. Rasa itu masih tersemat didadanya, menancapkan akar yang kokoh hingga terasa sesak. Nirmala menyerah, ia bangkit dari tidurnya dan mengecek ponsel. Jemari gemuknya bergerak lihai di atas layar, mencari kontak seseorang di ratusan chat yang penuh kata "Selamat!!!!". Cewek itu mengetikkan pesan lalu mengirimkannya.

Iris matanya berpendar sedih. Dia menatap langit-langit kamarnya yang gelap sebelum matanya berlinang.

***

"Nan."

"Udah puas, Mal?"

Nirmala bergeming. Puas? Apa yang harus Nirmala puaskan saat ini? Justru tubuhnya terasa hampa, kosong melonglong di hatinya. Raganya jadi tak enak.

Ini bermula saat Nuraga menghampiri pria itu. Vallent Keano. Didampingi Nirmala, Nuraga meminta maaf atas kelancangannya yang menghampiri pria berjas krem ke depan mobilnya. Pria itu membuang puntung rokoknya ke tanah lalu menginjaknya. Senyuman kaku terulas, tapi tetap memancarkan kedinginan.

"Ada apa?" tanya pria itu.

"Kami ingin berdamai dengan seluruh pihak dari Nanda, saya tidak melihat Ibu Arin dimana pun beserta Nanda, jadi saya berinisiatif untuk menemui Bapak Vallent di sini," urai Nuraga. Cowok itu mengambil alih percakapan, Nirmala hanya mengangguk dan tersenyum. Cewek itu masih melambung tinggi. Ia akhirnya menang! Balas dendamnya telah berhasil berjalan dengan mulus. Nirmala menempati kursi paling depan saat karma untuk Nanda terjadi. Nirmala tak bisa mendeskripsikan betapa leganya ia sekarang. Tubuhnya terasa mengawang dan sangat ringan. Pikirannya lapang dan segar. Ia bebas.

Vallent menaikkan satu alisnya. "Oh, ya. Silahkan. Dari awal saya nggak mempedulikan masalah ini."

Kini gantian Nirmala yang menaikkan alisnya. Cewek itu memang melihat bagaimana sikap acuh tak acuh dari seorang Vallent Keano yang termasyur ini. Sejak awal dia memang tidak akan bersuara, bahkan terkesan bosan dan muak tiap kali Nanda berulah. Kini ada tanda tanya besar di kepala Nirmala.

Apakah yang Nuraga ucapkan benar?

"Ah ..." Nuraga manggut-mangut, sedikit merasa canggung.

"Pasti kalian semua bertanya-tanya ya tentang sikap saya tadi. Atau mungkin sebenarnya kalian berdua utusan dari kawanan kalian yang menyerang Nanda tadi untuk memuaskan dahaga?"

Nuraga gelagapan. "Ng-nggak, Pak! Saya dan Nirmala murni mau meminta perdamaian saja. Saya yakin kalau dari kedua pihak saling berdamai, hukuman Nanda akan diringankan, tidak perlu dikeluarkan dari sekolah."

Nirmala melotot, ia menyikut pinggang Nuraga kasar. Untuk apa meringankan hukuman Nanda?! Lebih baik Nanda jauh-jauh pergi dari hidupnya karena melihat sedikit saja bagian tubuh Nanda, bahkan derap langkah khas miliknya saja sudah berhasil membuat mood Nirmala anjlok seketika.

Vallent tertawa renyah, tampak bersahabat. Ia bahkan menepuk ringan pundak Nuraga dengan santai. "Justru saya senang kalau dia dikeluarkan. Kerjaannya hanya buat onar dan bikin malu. Saya sama seperti cewek di sebelah kamu itu, Nak. Muak dengan perilaku Nanda. Saya nggak peduli. Mau dia sekarang dikeluarkan dan tidak dapat sekolah atau jadi gembel, saya sama sekali tidak peduli. Dia bukan anak saya."

Nirmala dan Nuraga terperanjat untuk sepersekian detik. Nirmala mengerjap kebingungan.

Jadi ... apa dugaannya benar?

"Ini diantara kita saja. Tapi, kalo kalian mau menyebarkannya juga nggak apa-apa, sih. Saya nggak peduli juga, ini bukan aib saya." Vallent kembali terkikik, pancaran matanya tampak berbahaya.

Kemarau yang Diguyur HujanΌπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα