Bab 10

1.1K 157 2
                                    

Setelah dirasa lebih baik, Nirmala dipindahkan ke kelas. Nuraga kembali menggendongnya. Ulfa berkata bahwa kaki Nirmala mungkin keseleo. Cewek berjilbab itu tidak berani memberikan pertolongan pertama, dia takut melakukan kesalahan yang justru akan memperburuk keadaan. Pada akhirnya Nirmala menceritakan bagaimana kejadian itu bisa terjadi sesaat setelah tangisannya mereda.

Awalnya ia tidak berada di toilet sendirian. Ada beberapa kenalan Nirmala saat itu dari kelas lain. Mereka saling sapa. Namun, ketika Nirmala masuk ke bilik nomor dua, tiba-tiba suasana toilet yang tadinya ramai langsung membisu. Nirmala menyadari hal aneh tersebut, tapi tak menganggapnya sebuah ancaman. Cewek itu mendengar derap langkah yang terburu-buru. Dia masih menganggap itu bukan sebuah ancaman. "Mungkin ada anak yang kebelet," pikir Nirmala saat itu.

Ketika terdengar suara reak air yang beradu cukup lama, Nirmala mulai merasakan kejanggalan. Tidak ada suara sama sekali yang ke luar kecuali reak air dan derap langkah. Nirmala mulai panik, terlebih lagi saat ia mencoba membuka pintu dan gagal.

Pintu diganjal dari luar.

Derap langkah itu semakin cepat seirama dengan gedoran pintu yang Nirmala timbulkan. Nirmala berteriak, meminta tolong dan bertanya siapa mereka. Beberapa tawa tersemat dan Nirmala terkesiap ke belakang. Itu suara laki-laki. Nirmala semakin ganas menggedor pintunya, tapi ia justru dihadiahkan seember air kotor. Cewek itu terkejut, memandang bajunya yang basah. Nirmala meraung marah, tapi mereka telah berlari ke luar sembari menyisakan gelak tawa yang jauh.

Nirmala sejatinya mengenal salah satu suaranya, itu suara yang sering ia dengar di kelas tapi Nirmala tak tahu pemiliknya. Nirmala tak mau asal tuduh, dia tidak menceritakan bagian ini.

Butuh beberapa menit untuk Nirmala berpikir bagaimana ia bisa ke luar tanpa harus membuat kegaduhan. Dia tidak mau ada banyak orang yang memandangnya sekacau ini. Ia harus bisa mencari jalan ke luar sendiri.

Nirmala memandang bagian atas bilik toiletnya. Dia bisa meraih bagian atas bilik jika naik ke atas WC. Nirmala mengalungkan roknya di leher kemudian mencobanya dengan gemetar. Ia tak pernah memanjat dan ini sejujurnya terlalu bahaya. Tangan Nirmala berhasil meraih bagian atas bilik. Ia harus bisa mengangkat tubuh gempalnya itu naik ke sana dan berpindah tempat ke bilik sebelah.

"Ini nggak sesusah kelihatannya," pikir Nirmala saat itu meskipun otaknya berkata tidak mungkin berhasil. Nirmala menarik napas, mengatur pernapasannya sebelum mengangkat kaki kanannya hingga mencapai bagian atas. Dia berhasil. Kini tinggal kaki kirinya. Nirmala yakin ia bisa melakukannya. Dirinya meneguhkan hati. Nirmala mengangkat kaki kirinya seirama mendorong tubuhnya ke depan secara cepat.

Tapi, Nirmala tidak seimbang.

Ia jatuh terduduk. Badannya menekuk, terhimpit di antara WC dan dinding bilik. Kepalanya sempat terantuk bagian WC tapi tidak begitu keras. Nirmala meringis, mengusap kepalanya yang mungkin saja akan benjol atau berdarah. Lalu di saat itulah Nirmala tersadar, lengannya terluka cukup lebar. Nirmala memerhatikan dindingnya. Ada gantungan pakaian dengan ujung runcing yang ternoda darahnya. Nirmala terpekur di lantai. Celana pendeknya sedikit basah terkena genangan air kotor tersebut.

Ia menggedor-gedor pintu dengan pelan sembari memikirkan nasibnya. Kesialannya yang entah nomor berapa itu telah dia benamkan di catatannya. Kesialan itu menumpuk dan kian hari memberatkan. Nirmala merasakan matanya memanas dan ingin menangis saat itu juga.

Tapi, itu semua sebelum Nuraga datang dengan derap langkah yang cepat dan mendobrak pintu secara paksa dalam tiga kali percobaan.

Nirmala diselamatkan oleh Nuraga.

***

"Nirmala, lo ganti baju dulu ya? Baju lo basah dan kotor gitu."

"Gue nggak bawa baju, Fa," jawab Nirmala dengan serak. Sehabis menangis seperti itu membuat perasaan Nirmala sedikit lega sekaligus memperburuk tampilannya. Matanya bengkak, hidungnya berair, dan suaranya parau.

Kemarau yang Diguyur HujanWhere stories live. Discover now