Bab 15

1K 160 3
                                    

Meja nomor sembilan yang berada dekat jendela itu terlalu lenggang untuk suasana ceria yang dihadirkan kedai es krim ini. Ada bulir air yang bergerak jatuh di kedua gelasnya karena tak tersentuh sejak tadi. Ada pundak tegang yang tak kunjung relaks meski pemilik cerita itu telah menyelesaikan ceritanya. Ada wajah yang merunduk tanda tak sanggup. Ada air matanya yang meluruh dengan banyak untaian rambut menutupi wajah.

"Nanda ... menganggap gue itu adalah sebuah permainan. Sampai detik ini. Dia udah nggak berniat menjadikan gue pacar atau apalah itu. Tapi, niat dia untuk menaklukan gue tetap ada. Bisa dilihat dari segala cara yang dia buat untuk membuat gue marah dan memilih menyerah. Dia tahu gue nggak segampang itu menyerah."

"Te-tentang Lulu ... dia sampai sekarang masih?"

"Gue nggak tahu." Nirmala tersenyum kecut. "Suatu saat Ziyad pernah dateng ke gue. Awalnya dia basa-basi, terus dia bilang kalo ada kemungkinan besar Nanda sekarang suka sama Lulu. Suka beneran, bukan terobsesi. Gue nggak paham dengan keadaannya. Nanda terlalu pelik, dia kayak labirin. Gue berharap Lulu nggak mendapatkan ancaman sekarang. Dia ngejauhin gue. Sejak awal dia nggak pernah tahu inti masalahnya."

"Kenapa kamu nggak ceritain ini ke Lulu sejak awal?"

"Lulu ada digenggaman Nanda, Ga. Gue nggak bisa. Sekarang gue sadar justru gue membahayakan dia juga. Sekarang dia menjauh dari gue secara tiba-tiba. Gue nggak tahu harus gimana lagi, Ga. Nanda pasti berulah. Gue harus bisa nyelamatin Lulu." Nirmala mengusap wajahnya dengan kasar. Ia kalut.

"Kita pasti menang, Nirmala."

Nirmala melirik Nuraga dari sela-sela jarinya. Tatapan cewek itu lelah dan suram.

"Kamu dan saya. Kita pasti menang. Kamu hanya perlu sebuah momentum yang pas. Sesuatu yang justru akan membalikkan keadaan."

"Kenapa lo begitu yakin? Bahkan lo belum kenal gue lebih dari dua minggu," jawab Nirmala lesu.

"Seperti keyakinan kamu untuk menceritakan ini ke saya. Sebesar itu keyakinan saya."

Nirmala menurunkan jemarinya ke atas paha. Ia merasakan darahnya mendesir cepat di bawah kulit. Mendengar keyakinan yang begitu tulus membuat tubuh Nirmala sedikit merenggang. Sayup-sayup ia mendengar kobaran semangat di otak dan juga hatinya.

Nirmala kini memandang lagi manik mata Nuraga. Melihatnya dengan sisi normal membuat Nirmala dapat membaca lebih jelas arti tatapannya. Selama ini cowok di hadapannya mengikat semua orang dengan pandangan penuh pengertian. Ia mengerti bagaimana harus menghadapi keberagaman. Nuraga paham apa yang harus dia lakukan meski terkadang sang penerima tindakan menolak dan mengusirnya jauh-jauh. Di lihat dari sisi yang lebih ringan, Nuraga hanya ingin membantu meski kadang canggung berbuat. Cowok dengan ketulusan yang murni itu hanya ingin Nirmala kembali baik-baik saja. Ia ingin Nirmala bisa menjawab bahwa dia baik-baik saja tanpa ada rasa nyeri saat ditanyakan kabar.

Nuraga yang mulia.

Mata Nuraga berpendar sejuk. Nirmala telah membuka diri pada orang yang tepat. Sesuatu yang selalu ingin ia lakukan. Bercerita keseluruhan kejadian sebenarnya. Mendapatkan tatapan teduh bukan kasihan. Ini menghangatkan tubuh Nirmala.

Tidak semua cowok pantas untuk dia benci.

"Kamu istimewa, Nirmala. Saya akan selalu ada di sisi kamu. Jangan pernah merasa sendirian."

Nirmala melebarkan senyuman. Ia bisa merasakan pelupuk matanya berair saat dirinya mengangguk dengan jiwa yang lapang luar biasa.

Nirmala masih membenci cowok, itu sudah mandarah daging. Tapi ia memberi pengecualian pada Asyer dan Nuraga.

Kemarau yang Diguyur HujanDär berättelser lever. Upptäck nu