Bab 16

1K 154 13
                                    

Perempuan itu memandang lamat refleksi tubuhnya, sesuatu yang jarang sekali ia lakukan. Iris matanya menangkup sesuatu yang sama persis di hadapannya. Ada tekad yang membara di dalamnya. Ada harapan luas membentang di sana. Ada pertahanan dengan benteng tinggi.

Hari ini adalah hari perlawanannya yang lain. Hari ini adalah hari baru. Sedih harus pergi. Semangat harus kembali. Tekadnya semakin kuat. Ia tak boleh terpuruk lagi hari ini.

Sudut bibirnya terangkat tinggi. Rona pipinya kemerahan.

"Nirmala, kamu istimewa."

***

Bando biru muda itu kembali tersemat, menjadi mahkota yang mempercantik sang permaisuri. Rambutnya dibiarkan jatuh ke pundak tanpa diikat sedikit pun. Hari ini, dia memasang tampilan yang selalu ingin ia tampakkan.

Senyum ceria tanpa beban.

Nirmala berhenti di depan gerbang. Jemarinya menggenggam tali tas coklatnya erat. Langkah pertama untuk memasuki hutan penuh penderitaan bukanlah hal mudah, terlebih lagi di hari dengan tekadnya yang membara. Ia harus berhati-hati, jangan sampai api tekadnya justru membakar dirinya sendiri hingga jadi abu.

Namun, Nirmala telah berulang kali keluar dan masuk ke dalam hutan tersebut.

Hari ini hari Senin. Hari yang selalu dijadikan kesialan semua orang. Tapi, untuk Nirmala, hari ini adalah titik balik hidupnya. Instingnya berkata demikian. Apapun itu yang berada di depannya akan ia taklukan. Setinggi apapun itu. Sebesar apapun itu. Dia harus menaklukannya.

Karena ia istimewa.

***

Ada kerumunan beberapa siswa di mading sekolah.

Nirmala melirik sejenak orang-orang yang tampak heboh itu tanpa rasa minat. Hari ini ekskul jurnalistik dan mading memang dijadwalkan untuk mengganti topik bacaan tiap dua minggu sekali. Ada tempat untuk bertukar pesan juga tanpa harus meninggalkan nama, biasanya hal ini yang menimbulkan kehebohan.

Namun, saat melihat Ghani yang keluar dari kerumunan dan berjalan cepat ke arahnya, Nirmala tahu kenapa instingnya begitu kuat hari ini.

Saat ini ... memang titik balik hidupnya.

"Nirmala!" Ghani memanggilnya dengan tergesa. Ada beberapa anak di belakang yang menoleh dan mulai berbisik ke sebelahnya. Nirmala mengamati hal itu.

"Kenapa, Ghan?" tanya Nirmala, berusaha semaksimal mungkin untuk tidak tampak gelisah meski saat ini ia sudah ingin menyerobot masuk ke kerumunan.

"A-ada lo di ... mading."

Nirmala melirik kerumunan orang di belakang Ghani. Mereka terus berbisik, membuat jantung Nirmala memainkan ritme tak beratur. "Gue mau lihat."

Ghani mengangguk walau tampak tak yakin. Cowok itu mengekori Nirmala yang berjalan dengan pasti menghampiri kerumunan. Kerumunan pun terpecah, memberikan jalan.

"Itu dia, ya, yang ditempel di mading?"

"Astaga ... Nirmala?"

"Sumpah, tampang polos ternyata cabe juga ya?"

Nirmala menggigit bibir bawahnya saat komentar yang berterbangan di udara memasuki indra pendengerannya. Ghani di belakang sibuk mendesis, memarahi siapapun itu yang melepaskan omongan tanpa pikir panjang.

Kerumunan semakin banyak dan Nirmala ingin muntah saat ini juga.

'Ini dia ...' Nirmala memijakkan kakinya tepat di depan mading. Ia mejamkan matanya sejenak sebelum melihat. 'Apapun itu. Bagaimanapun itu. Hari ini ... dan seterusnya ... istimewa.'

Kemarau yang Diguyur HujanWhere stories live. Discover now