Bab 19

988 161 15
                                    

Rambut sebahunya bergerak lembut seirama dengan langkahnya. Bando biru muda tersemat di kepalanya, bagai mahkota yang dipakai dalam suasana khusus. Mata hitam legamnya terpaku pada satu titik, tak ada kegoyahan sedikit pun. Ia berjalan dengan tegap, menantang semua yang ada di hadapannya. Semua orang di depannya membelah jadi dua, memberi jalan. Banyak tatapan yang menelisik, menelaah dirinya sangat rinci, tapi ia tak terusik sama sekali. Cewek itu tetap melangkah.

Di belakangnya ada banyak orang yang mengikuti. Tiga orang di paling depan bak penjaga sang permaisuri. Satu yang berada di sisi kanan melototi sekitarnya, membungkam semua orang yang hendak angkat suara. Satu yang berada di sisi kiri memerhatikan sekitar, sesekali memainkan rambut panjang ikalnya sambil memberikan tatapan tak suka. Satu yang di tengah diam, tapi bungkamnya ia bagai mendonorkan energi. Cewek di depan itu bisa merasakan senyuman cowok yang tepat berada di belakangnya.

Nirmala siap. Lahir dan batin.

Apapun hasilnya, apapun yang akan ia terima ... setidaknya dia sudah berjuang.

***

Persidangan yang dimaksud bukan seperti yang biasa hadir di televisi, walaupun peran-peran seperti hakim dan juri turut ada. Persidangan ini lebih mirip musyawarah besar. Kepala sekolah hadir menjadi hakim atau pemutus siapa yang salah dan siapa yang benar. Beberapa anak yang menjadi saksi turut hadir jadi juri, mereka diperbolehkan angkat suara.

Ciri khas dari persidangan yang dilakukan di auditorium ini adalah tersangka dan korban didampingi orang tua yang biasanya justru orangtua dari masing-masing pihak yang cenderung berdebat dan menguasai persidangan. Juri jarang angkat bicara.

Namun, kali ini terbalik.

Orangtua Nanda sama sekali tak bisa membantah. Juri terus berbicara, memberikan saksi dan pembelaan pada Nirmala. Tak hanya satu-dua, tapi seluruh juri angkat suara.

Termasuk Ghani dan Ziyad.

Nanda menggeram. Ia bangkit berdiri saat Ghani masih berbicara. "APA BUKTINYA KALAU GUE KAYAK GITU, HAH?! LO SEMUA CUMAN NUDUH-NUDUH GUE AJA 'KAN?!"

"Ananda Keano," kepala sekolah menginterupsi, "tolong duduk dan dengarkan dengan saksama apa yang Ghani sedang ucapkan.

"NGGAK BISA GITU, PAK!" Nanda menghentak. "Sejak tadi Ibu saya nggak diberikan waktu untuk bicara! Nggak ada kesempatan karena juri-juri tengik sialan ini terus-terusan bicara!"

"Interupsi bahasa, Ananda Keano."

Nanda mengepalkan tangannya kuat-kuat. "Saya nggak peduli! Mau saya ngomong apa aja, itu hak saya! Nggak ada yang bo⸺"

"Ananda."

Nanda membuat garis lurus di bibirnya sepersekian detik saat suara berat itu memotong ucapannya. Ia menoleh sedikit, agak takut, ke arah Vallent Keano⸺ayahnya. Sosok besar dan tegap itu memandang Nanda dengan dingin. "Duduk. Saya nggak punya banyak waktu untuk ini."

Tangan Nanda bergetar, ia menurut. Cowok itu menunduk, ciut seketika. Kini ia tampak seperti anjing kecil yang kedinginan di musim dingin. Vallent membuang pandangannya kembali ke kepala sekolah, ia berujar kembali sama dinginnya. "Mohon dipercepat dan dikondusifkan. Saya nggak punya banyak waktu."

Arin di sebelahnya tak bisa berbuat apa-apa akan suaminya. Beliau tahu, tak ada gunanya Vallent berada di sini karena sejatinya ... pria itu tak peduli.

Kepala sekolah mengangguk. "Silahkan Ghani dilanjutkan."

Dengan anggukan kepala, Ghani berterima kasih dan melanjutkan. "Seperti yang sudah saya dan teman-teman utarakan sejak awal, ada banyak sekali kejahatan yang dilakukan oleh Nanda, tidak hanya ke Nirmala, tapi nyaris semua orang pernah menjadi korban. Nirmala merupakan korban yang terparah, saya pribadi tidak memahami apa motif dari Nanda sendiri bisa setega dan memprilakukan manusia dengan tidak manusiawi seperti itu.

Kemarau yang Diguyur HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang