Bab 6

1.4K 178 10
                                    

Nirmala berjalan melewati koridor sekolah dengan menggunakan masker hidung. Pasca tragedi memalukannya kemarin, lebih baik ia mencegah seseorang akan mengenalinya lalu berbisik hal memalukan di belakang.

Sudah cukup penghinaan kemarin. Seluruh sumpah serapah yang ia dapatkan sudah memenuhi stok penghinaannya untuk setahun. Kebencian Nirmala pada makhluk berkromosom Y pun semakin menggunung.

Cewek itu mencoba mengukir senyuman di balik masker abu-abunya. Berharap dari mengawali hari dengan senyuman dapat membuatnya untuk tidak menambah daftar kesialan.

Tapi ... tampaknya Dewa dan Dewi Fortuna enggan berada di sisinya, bahkan hanya untuk berada di sekitar rasanya mereka tidak ingin.

Memasuki kelas masih dengan senyuman di balik maskernya, Nirmala melihat Nuraga yang berdiri menatap mejanya. Nuraga menyadari Nirmala sejurus kemudian dan langsung mendekati cewek itu. Ia berdiri menjulang di depan Nirmala, menghadang Nirmala yang menatap bingung.

"Mau temenin saya ke kantin? Kayaknya saya lupa deh letak kantin."

Nirmala mengerjap, memandang bodoh Nuraga. "Lo nggak mungkin lupa letak kantin."

"Tapi nyatanya saya lupa. Mau ya? Saya haus, ke sekolah naik sepeda."

Nirmala menggeleng. "Gue baru nyampe, Ga. Gue capek naik tangga ke lantai tiga. Gue mau duduk, minggir ah."

Nirmala bergerak ke arah samping, menerobos Nuraga dengan cepat. Jantungnya berdegup di atas rata-rata. Ia menyadari Nuraga yang mengekor di belakang. Nirmala meremas jemarinya. Plester luka sudah tidak merekat lagi di telapak tangan, tapi lukanya masih belum sembuh benar.

Nirmala sampai di mejanya. Memandang tajam apa yang tersaji di hadapannya. Nuraga berdiri di samping Nirmala, memanggil nama cewek itu pelan.

Jemari Nirmala mengepal. Kukunya menusuk bekas lukanya. Rasa perih menjalar di telapak tangannya tapi tidak cukup untuk menghentikan aksinya. Rasa sesak terasa ingin meledak di dadanya, membuncah dan memanas di otaknya hingga akan menghasilkan ledakan kedua. Nirmala membalikkan badannya, berjalan menghampiri Nanda yang tengah terkikik dengan keempat kawannya.

"Hai, Bantet," sapa Nanda seraya tersenyum manis. Kepalanya sedikit ia telengkan ke kiri, bertingkah sok manis.

"Apa yang lo perbuat ke meja gue?" Nirmala bertanya dengan dingin. Jemarinya masih terkepal.

"Meja lo?" Alis Nanda tertaut. "Lo bawa meja dari rumah?"

"Lo dan gue sama-sama tahu maksud pertanyaan gue, Ananda Keano."

Nanda bangkit dari duduknya. Ia begitu menjulang di hadapan Nirmala, tapi tidak semenjulang Nuraga. Nuraga cowok tertinggi di kelas. Nanda merunduk, mendekatkan wajahnya. "Lo nggak punya akses untuk menyebut nama lengkap gue, Bantet."

"Emangnya kenapa?" Nirmala berkacak pinggang. "Ini mulut gue, bukan mulut lo."

"Dan ini tangan gue bukan tangan lo, berarti gue punya akses untuk mencorat-coret di mana pun gue suka."

Kilatan amarah di manik mata cewek itu begitu kental. Bahkan Nuraga yang tak menatapnya sudah dibuat merinding. Aura Nirmala memancarkan sinyal mematikan yang bertubrukan dengan milik Nanda. Aura keduanya membuat seisi kelas bergidik ngeri. Sebagian besar dari mereka yang mengetahui tragedi tahun lalu mulai cemas, termasuk Ghani yang baru saja datang. Cowok berambut spiky itu berjalan menghampiri dengan tergesa, ia menyempil di antara kedua tubuh tersebut.

"Gengs, masih pagi. Kenapa lagi kalian?"

Nirmala mundur beberapa langkah ketika Ghani sedikit merentangkan tangannya. Matanya masih berkilat marah. "Lo tanya aja sama preman sok highclass padahal kampungan itu," tukas Nirmala marah. Cewek itu mendorong Nanda kencang kemudian berlalu begitu saja melewati Nuraga. Nuraga melihat Nirmala yang sudah duduk di kursinya. Ia melirik Ghani yang kini menatapnya.

Kemarau yang Diguyur HujanWo Geschichten leben. Entdecke jetzt