Bab 2

2.5K 244 6
                                    


"Nama panggilannya apa? Nuraga kepanjangan." Ghani, selaku ketua kelas, bertanya.

Nuraga sedikit mengernyit seolah pertanyaan Ghani ialah salah satu soal yang rumit. "Sejak dulu saya dipanggilnya selalu Nuraga. Lengkap. Tapi, kalau dirasa nggak efisien, terserah kalian saja mau panggil apa."

"Masa dipanggil Nur? Ntar si Nurul merasa!" celetuk yang lain, membuat orang yang bernama Nurul itu mendelik tak suka.

"Panggil saya Raga juga boleh, tapi saya lebih senang dipanggil Nuraga."

"Asal mana? Kok masuknya nggak pas awal semester?" Kali ini Lulu yang bertanya.

Nuraga mengeratkan genggaman tangannya ke tangan yang lain di belakang punggung. Dia tak begitu suka ditanyai banyak hal, terlebih lagi di depan banyak orang seperti ini. Seolah semua mata bersiap untuk menelaah kelemahannya.

Tatapan penuh selidik itu bisa membunuhnya.

Alih-alih jatuh terduduk seperti perkenalannya di sekolah sebelumnya, Nuraga mengalihkan pandangannya ke luar kelas melalui jendela sambil menjawab. "Lahir di Jogja. Saat SMP saya sekolah di Bandung, sebelum ke Jakarta saya tinggal di Surabaya."

Beberapa siswa terkikik. Nuraga tertegun, dia salah tingkah. Terlalu banyak informasi yang dia berikan. Bukan itu jawaban yang tepat dari pertanyaan Lulu.

"Kalo ngomong emang seformal itu ya? Ini 'kan Jakarta, Ga. Gue-lo lebih cocok di sini," sahut Nanda, membuat Nirmala tanpa sadar mendecak sebal.

Nuraga mengangguk sekali. "Udah kebiasaan. Kalau tiba-tiba saya ganti tata bicara jadinya kagok."

"Ya ... kalo lo emang mau survive di Jakarta sih harus bisa adaptasi lah! Jangan mental tempe gitu!" Nanda kembali merespon, membuat sebagian kelas tertawa terbahak. Nuraga menundukkan kepalanya. Ini. Ini yang paling dia takutkan.

Nirmala mendelik kesal. Melihat Nanda mulai meremehkan orang lain membuat dirinya semakin memanas. Dia memang bukanlah seorang pahlawan atau seseorang berjiwa patriot yang mau bersusah payah membela semua manusia tertindas. Ini semua hanya karena Nirmala membenci Nanda.

Semua yang dilakukan Nanda, bahkan bernapas pun, sudah cukup untuk membuat Nirmala mendidih.

"Bu Rini, kita belajarnya kapan?" Nirmala, tanpa sadar, bertanya dengan lantang. Hal yang kemudian dia sesali karena menarik perhatian Nanda.

Nanda tersenyum miring. Memberi tanda bahwa dia akan merespon pancingan Nirmala. Cewek itu mengepalkan jemarinya di atas meja, mencoba mempersiapkan tameng dari ucapan pedas Nanda.

"Heh, Bantet! Tumben lo mau belajar. Kesambet apa? PR aja lo nyontek Lulu."

Beberapa orang berseru, tertawa meledek. Sesuatu yang mereka anggap normal. Sesuatu yang mereka anggap biasa saja, tak perlu dimasukan hati.

Nuraga mendongakan kepala, sedikit terkejut.

Ini. Ini yang membuat Nirmala lebih memilih diam.

Tapi, bukan saatnya untuk kalah. Tidak. Tidak di depan Nuraga.

"Masih bagus juga gue nyontek, tapi ngerti. Daripada lo pas ujian akhir semester nyontek internet. Otak lo dijual di rumah makan Padang?"

"Wah." Nanda berdiri, siap menyerang. "Songong lo ya sekarang!"

Sebelum Nirmala balas berdiri, yang justru akan semakin mempermalukannya karena Nanda hanya mencemooh fisiknya semakin parah, Bu Rini kembali menepukkan kedua tangannya. Amarah mengkilat di matanya. Nanda segera duduk, merunduk, tak berani menatap Bu Rini.

Kemarau yang Diguyur HujanWhere stories live. Discover now