Bab 8

1.2K 154 18
                                    

Hujan. Siang menjelang sore kali ini dikirimkan limpahan air dari Sang Pencipta. Nirmala berdiri sendirian di depan pintu gerbang. Tangannya menegadah, menampung rintik air. Sensasi tubrukan dan memecahnya bulir air tersebut terasa menyenangkan bagi Nirmala, terlebih lagi dengan langit yang berwarna jingga kali ini.

Lagu di ponselnya masih terus berputar. Earphones menjadi satu-satunya pelarian hari ini. Ia tidak berbicara banyak sejak Nanda menghakiminya lagi. Hanya beberapa kali dengan Ulfa atau Aina dan Nuraga. Nirmala ingin menghempaskan dirinya jatuh tenggelam dalam selimut di kasurnya. Ia teramat lelah, tapi semesta menghalangi. Hujan itu anugerah, tapi bagi Nirmala ... hujan itu memiliki esensi kesedihan tersendiri.

"Lo ... cewek yang waktu itu 'kan?"

Nirmala mendongak ke arah kanan. Ia terbelalak, buru-buru melepas earphonesnya.

Cowok di sebelahnya terkekeh pelan. Suaranya menyenangkan. "Iya, lo cewek yang waktu itu. Pendekar pemberani yang menaklukan iblis."

Pipi Nirmala terasa panas dan bersemu kemerahan. Asyer tertawa di depannya. Nirmala memberi peringatan untuk jantungnya yang berdegup terlalu kencang.

"Sorry, gue ganggu lo. Lagi dengerin lagu ya?"

Nirmala mengangguk. Bibirnya membentuk garis lurus. Lidahnya kelu untuk merespon.

"Kalo gue nggak salah inget, lo sering berdua sama temen lo yang cewek itu 'kan?"

Nirmala mengangguk lagi. "Dia nggak masuk."

Asyer manggut-manggut, ia mengusap dagunya sejenak. "Mumpung gue ketemu lo di sini, ada yang pengen gue omongin sama lo."

Alis Nirmala naik sebelah. Jantungnya berdegup lebih cepat. Ia mulai merasa ada alarm yang berbunyi di dalam otaknya. 'Sesuatu yang dibicarakan'. Kebanyakan orang berbicara seperti itu untuk memberitahukan kabar buruk. "A-apa?"

"Sebelumnya, boleh gue tau nama lo? Gue inget lo sebenernya, lo yang waktu kelas sepuluh ikut jadi panitia cabutan buat pensi, tapi gue selalu lupa nama lo."

"Nirmala."

"Nirmala," Asyer mengangguk dan tersenyum, membuat Nirmala ingin mencakar tembok di belakangnya. "Akan gue ingat. Jadi, langsung aja ya balik ke topik sebelum temen-temen gue dateng. Gue ... mau minta maaf yang sebesar-besarnya tentang Haykal."

Nirmala mengerjap, ia merespon dengan diam.

"Kelakuan dia kemarin bener-bener nggak bisa dimaafin. Tapi, seenggaknya gue berharap lo bisa maafin dia sedikiiiit aja. Gue nggak minta lo buat lupain, tapi kalo lo bisa, itu bakal jadi sesuatu yang bagus, tapi kalo nggak ... it's okay. Udah bagus kalo lo mau maafin dia sedikit aja."

"Kenapa lo harus repot-repot minta maaf ke gue? Kenapa bukannya Haykalnya langsung?" Nirmala bertanya tanpa merendahkan nada kesedihannya. Ia bahagia pada akhirnya dirinya bisa berbicara dengan Asyer, tapi dia tidak mengharapkan untuk berbicara tentang hal menyedihkan seperti ini. Ini memalukan dan terasa semakin konyol.

"Gue udah nyuruh dia berkali-kali, tapi ego dia tinggi. Jadi, gue mewakilkan dia. Gue merasa harus ngelakuin hal ini karena gue kenal Haykal. Dia punya banyak tekanan dari luar dan dalam. Atas dan bawah. Kiri dan kanan. Haykal itu aslinya baik, gue kenal dia."

"Ngata-ngatain fisik orang itu termasuk baik?" Nirmala bertanya lagi. Nada suaranya semakin menyedihkan. Asyer yang mendengar mulai gelagapan. Nirmala bingung dengan dunia ini. Terlalu banyak pembelaan. Korban dipaksa memahami kondisi psikis tersangka. Lantas, apa tersangka memahami psikis korban? Apa seharusnya dia membiarkan semua orang yang memiliki tekanan dari berbagai pihak untuk menindasnya? Menjadikan dirinya samsak?

Kemarau yang Diguyur HujanWhere stories live. Discover now