Bab 7

1.2K 172 5
                                    

"Dek, mandi sana. Hari ini bimbel 'kan? Itu kamar mandi udah kelar Ibu sama Iskan pake," kata Nara, kedua kaki kurusnya melangkah mendekati Nirmala. Meskipun ia sudah hamil satu kali, bentuk tubuh Nara tetap tidak berubah. Tetap kecil. Membuat Nirmala terkadang memasukkannya ke dalam pikiran bodohnya.

Nirmala mengangguk patuh. Ia meletakkan ponselnya di meja kayu kecil di sebelah sofa lalu berlalu ke kamar mandi atas. Nara duduk di sofa dengan setoples keripik baladonya. Iskan menghampiri kemudian, duduk di atas pangkuan Nara, dan turut memakan keripik balado.

"Nda, hape Mbak Ninil geterrr-geterrr," celoteh Iskandar dengan menekan pada huruf R. Bocah kecil itu baru bisa meyebut huruf R dan ia bangga memamerkan kebisaannya.

"Oh, ya?" Nara melirik ponsel Nirmala. Ada panggilan telepon.

Nara mengambil ponsel Nirmala, melihat nama sang pemanggil.

Nuraga B.

Nara tersenyum. Ia menggeser lambang telepon berwarna kehijauan. "Halo? Nuraga, ya?"

Nuraga dari seberang terkesiap. "Kakaknya Nirmala?"

"Iya," balas Nara riang. "Nirmalanya lagi mandi, bentar lagi dia mau bimbel. Kamu nggak bimbel, Nuraga?"

"Nggak, Kak. Saya belajar sendiri."

"Waw." Nara berdecak kagum. Salah satu sisi tangannya mengelus rambut Iskandar. "Hebat banget. Ada yang kesulitan nggak? Kakak bisa bantu nih, tapi khusus kimia aja. Biologi bisa sih dikit, tapi masih jagoan Nirmala."

"Ah ... ngerepotin, Kak. Nggak usah."

Nara cekikikan sendiri. Baginya berbicara dengan Nuraga memiliki kesenangan tersendiri. Cowok itu selalu bersikap sopan, kaku, dan seadanya. Cowok yang menarik hanya dalam sekali lihat. Perawakannya pun tidak buruk, terlihat rapi walau terkadang image kakunya terlalu kental. Tapi, Nara suka model rambut Nuraga yang tak seaneh model zaman sekarang.

Nuraga benar-benar tampak seperti bisa dilihat sampai dalam.

Iskandar menatapnya dengan mata bulat penuh tanya. "Ayah ya, Bun?"

Bibir Nara membuat garis lurus sedetik setelahnya. Tawanya mendadak surut. "Bukan, Is," bisiknya lirih. Nara mengembalikan fokusnya kepada Nuraga di seberang meski tetiba pikirannya pecah. "Nggak ngerepotin kok, Nuraga. Santai aja sama Kakak. Nanti Kakak nyuruh Nirmala ngasih kontak Kakak ke kamu, siapa tau kamu terlalu sungkan ke sini jadi bisa nanya lewat LINE."

Nuraga menyadari perubahan nada suara Nara. Ia juga mendengar pertanyaan dari Iskandar. Terlalu banyak yang ia ketahui. Terlalu banyak yang ia ingin ketahui.

"Oke, Kak, makasih banyak. Kalo Nirmala udah selesai tolong suruh telpon saya bisa, Kak?"

"Ya, tentu. Nanti Kakak sampaikan ya."

"Assalamu'alaikum, Kak."

"Walaikumsallam."

Sambungan diputus oleh Nara. Wanita itu mendekap Iskandar yang berada di pangkuannya. Iskandar mendongak dengan mulut penuh keripik balado. "Tadi siapa, Bunda?" tanya Iskandar setelah menelan makanannya.

"Temennya Mbak Ninil, nanti Iskan ingetin Bunda ya buat ngasih tau Mbak Ninil."

"Iskan kirrra Ayah."

Nara menggigit mulut bagian dalamnya. Ada rasa sesak yang menjalar dari hatinya. Mengikat seluruh organ tubuhnya dengan erat hingga ingin pecah menjadi potongan kecil. Nara mendesah pelan. Ia mengambil toples besar itu, menutupnya, dan kemudian menjauhkannya dari jangkauan Iskandar.

Kemarau yang Diguyur HujanWhere stories live. Discover now