Bab 17

1K 161 5
                                    

"Hari yang menyenangkan ya, Nirmala?"

"Haha ..." Nirmala tertawa hambar. "Menyenangkan? Eat your ass, dude."

Pinggir jalan siang ini sepi, tak banyak kendaraan yang hilir mudik. Begitu juga dengan penikmat trotoar. Tidak banyak yang melangkah. Awan gelap telah ditarik hingga berada persis di atas kepala, membuat banyak orang enggan keluar.

Namun, di sinilah Nirmala berada.

Di atas trotoar. Di bawah langit gelap. Di antara beberapa manusia yang berlalu lalang.

Rintik hujan sudah turun sejak tadi. Banyak payung dengan aneka warna membentang di sekitar. Ada juga yang memakai jas hujan.

Kecuali Nirmala.

Tangannya bergetar. Jemari pendek yang sedikit gemuk miliknya mengepal erat. Kukunya menusuk telapak tangan. Mulutnya terkatup erat, giginya bergemeletuk. Seluruh emosi yang dimilikinya bersatu, bercampur aduk, dan berputar-putar di dadanya.

Ia kabur dari sekolah. Persis setelah Nuraga dengan tubuh lunglai di papah ke UKS. Tepat setelah Nanda diarak ke ruang BK dengan bukti kuat, video yang sedaritadi Nurul rekam dengan sembunyi-sembunyi.

Nirmala kabur dari sekolah. Tanpa ada yang menyadarinya.

Masih terputar di kepalanya bagaimana hal cepat itu terjadi. Nuraga membentang di depannya, melindungi Nirmala dengan punggung dan lengan yang melingkupi tubuh. Tersenyum begitu manis sebelum kepalanya terkulai lemas jatuh ke pundak Nirmala.

Aroma anyir darah merebak setelahnya, mengalir dari belakang kepalanya menuju leher. Seragam putihnya terkena noda merah amis itu. Semua orang panik. Nanda dilempar kembali ke belakang, beberapa teman cowoknya sempat memukul Nanda hingga cowok itu lemas. Seluruh orang bantu membopoh Nuraga dan memanggil bantuan.

Namun, sebelum tubuh kurus tinggi menjulang itu diangkat dari pundaknya, Nirmala bisa merasakan genggaman lembut di tangannya. Nirmala bisa merasakan deru napas lemah di lehernya. Nirmala bisa merasakan senyum kecil masih terbentang di sana.

Air matanya nyaris jatuh. Nyaris. Kalau bukan karena genggaman lembut di lengannya. Kalau bukan karena deru napas lemah itu berada di lehernya. Kalau bukan karena senyum kecil yang terus membentang.

Kalau bukan karena Nuraga melindunginya.

Tubuh tinggi itu pada akhirnya diangkat. Menjauhi Nirmala yang mendadak hampa. Menjauhi Nirmala yang akhirnya tak kuasa menangis. Rasa dingin menyerbu dirinya. Ia bangun, bangkit berdiri sebelum ada yang menyadari, lalu kabur dengan bantuan pegawai kantin.

Tangis Nirmala tak berhenti. Dibalik rintik hujan yang kian deras, semua orang tak akan tahu ia menangis. Air hujan mengkamuflase kesedihannya.

Kakinya terus melangkah. Menuju rumah yang pemiliknya ia khawatirkan. Penyelamatnya. Pelipur laranya. Tempat bersandar. Ia tak peduli walau sudah diputus. Ia tak peduli walau akan diusir. Ia tak peduli walau dirinya sendiri takut.

Nirmala butuh Lulu.

Sebagaimana Lulu memeluknya sekarang.

Di detik ini, Nirmala terlambat menyadari kembali. Kakinya telah sampai. Lulu yang baru keluar rumah melihatnya.

Air mata Nirmala yang semula sudah surut, kembali deras. Jauh lebih deras dan menyakitkan. Isak tangis begitu parau menyahuti suara dentuman hujan dengan tanah. Cewek itu menangis bersama sahabatnya. Mendekap erat. Berujar maaf beribu kali hingga tubuh lemahnya lunglai dan dipapah masuk.

***

Iris mata hitamnya menelaah seluruh jengkal tubuh di hadapannya. Ada lebam biru di beberapa sisi. Ada luka tipis menghias di kulit yang terkenal akan kelembutan dan kemulusannya. Nirmala meringis kecil, merasa bersalah.

Kemarau yang Diguyur HujanWhere stories live. Discover now