Bab 12

1K 156 1
                                    

Ada cahaya terang di antara gelap. Langkah kakinya tak henti bergerak. Dia lelah. Gerakan kakinya melemah. Tangannya berusaha menggapai cahaya itu. Ada derap langkah yang mengejar di belakang. Berlari dengan laju lebih cepat. Tubuh lebih besar.

Makhluk itu meraung. Gerakan tangannya yang menggapai melukai kaki perempuan itu. Dia jatuh dan mengerang. Cakar makhluk itu tajam dan besar, tampak mengkilat meskipun hanya satu cahaya menerangi. Perempuan itu mencoba bangkit. Ia berjalan perlahan meski tahu makhluk itu berada di dekatnya.

Dia terus berjalan, tak peduli dengan darah yang merembes dari kakinya.

Dia terus bergerak, tak peduli dengan perihnya luka itu.

Dia terus maju, tak peduli dengan rasa takut akan makhluk besar yang bersembunyi itu.

Menuju cahaya terang tersebut. Pintu keluarnya.

Makhluk itu muncul lagi. Kecepatannya lebih cepat dari sebelumnya. Bergerak dengan lihai sembari melayangkan cakar-cakarnya ke tubuh perempuan itu. Dia meraung keras. Tak peduli betapa paraunya teriakan perempuan itu, ia terus melakukannya.

Perempuan itu masih terus bergerak meski tertatih. Tangannya tak henti menggapai meski cahaya itu masih terlampau jauh.

Namun, gerak kakinya terhenti. Perempuan itu berteriak panik saat tubuhnya melayang di udara, dikekang tangan besar beserta cakar tajamnya. Ia menggeliat, tak berani menatap ke belakang. Deru napas makhluk itu terasa di tengkuknya. Panas. Kejam.

Dia mulai sesak. Genggaman makhluk itu mengeras. Ia berteriak keras dan parau. Makhluk itu balas meraung. Dia memukul dengan lemah. Menangis dengan kencang. Berteriak dengan lantang.

Lalu semua sia-sia.

Ia ditelan bulat-bulat.

***

"Nirmala? Mala? Bangun, Mal!"

Terlalu gelap. Terlalu dingin. Terlalu menyakitkan.

"Mala? Sayang, bangun!"

Dunia ini fana. Dunia ini kelam. Dunia ini keji.

"Mala tolong bangun! Mbak mohon!"

Apa yang bisa aku lanjutkan? Apa yang bisa untuk diperjuangkan? Apa yang harus dipertahankan?

"Mala! Tolong, ini Mbak. Ada Iskan juga. Iskan, panggil Mbak Ninil, Sayang."

"Mbak Ninil, bangun. Ini Iskan."

Semua hancur. Semua telah dilumatkan. Semua tak utuh.

"Kamu itu berharga. Kalau kamu nggak berharga, nggak mungkin saya akan bela kamu."

"Kamu normal, Nirmala."

Seperti hadirmu di kala gempa. Jujur dan tanpa bersandiwara. Teduhnya seperti hujan di mimpi. Berdua kita berlari.

"Nirmala!!!"

"Huaaah!"

Nirmala bangun. Dia membuka kelopak matanya lebar. Napasnya menderu cepat dan terburu-buru. Pundaknya naik turun. Pandangannya ia lempar ke sepenjuru ruangan. Kamarnya terang, tirai dan jendelanya dibuka lebar-lebar. Ada dua orang di hadapannya yang langsung memeluk Nirmala erat-erat. Nirmala mengerjap beberapa kali. Matanya mengalirkan cairan bening tanpa dia sadari.

"Alhamdulillah. Kamu bisa bikin Mbak kena serangan jantung, Mal, kalo kamu kayak gitu lagi!"

"Ka-kayak gitu gimana?" tanya Nirmala dengan suara seraknya.

Kemarau yang Diguyur HujanWhere stories live. Discover now