Bab 9

1K 167 9
                                    

Ada yang aneh tentang hari ini.

Atau sejak kemarin, tapi baru berimbas sekarang.

Atau memang sejak dulu semua hari selalu Nirmala anggap aneh.

Tapi, hari ini keanehannya berbeda. Sangat berbeda. Meskipun teman sekelasnya memang hanya bicara seperlunya dengan Nirmala⸺mereka terlalu takut terlibat masalah⸺hari ini ada tambahan satu anak yang menghindari Nirmala. Bahkan seperti tidak melihat Nirmala.

Saat ini Nirmala duduk di kursi bagian tengah kelas. Ia masuk kelompok nomor enam di mata pelajaran biologi sehingga tempat duduknya berada di tengah. Saat biologi tempat duduk di atur sesuai kelompok dengan sistem mengular untuk peletakannya. Dimulai dari depan ke belakang lalu ke samping dan seterusnya.

Nirmala sudah bersama kelompoknya sejak semester tiga dimulai. Tidak ada masalah. Semua bersikap koperatif. Aina, Ghani, dan Lulu selalu dengan semangat membagi tugas sama rata. Tapi, hari ini berbeda. Bukan tentang biologi, Ghani, ataupun Aina. Bukan juga tentang Nanda yang duduk persis di belakangnya.

Ini tentang Lulu yang duduk di sampingnya.

Cewek itu membisu sejak Nirmala duduk di sisinya. Awalnya Nirmala berpikir Lulu sedang tidak mood untuk mengobrol, tapi saat melihat Lulu tertawa merespon guyonan Ghani⸺Ghani sebenarnya senang melucu, kadang suasana kelas akan riuh hanya karena leluconnya. Bahkan seorang Nanda pun ikut tertawa dan membalas guyonannya. Pada dasarnya, seisi kelas Nirmala senang melucu dan tertawa⸺dan tidak merespon panggilan kecilnya, Nirmala yakin ada sesuatu yang salah.

***

"Nuraga?"

Nuraga yang tengah membereskan buku-buku Bahasa Jepang menatap lurus ke depannya. Ulfa dengan kacamata berbingkai oval warna hitam itu tersenyum. "Aku nggak nyangka kalo kamu sesupel itu. Selama ini aku ngira kamu orangnya kaku karena cuman mau ngobrol sama Ghani dan Nirmala aja."

'Aku?' Kening Nuraga mengerut. Ada lagi yang berbicara sepertinya atau cewek berjilbab ini hanya mengikuti logat berbicara Nuraga?

"Aneh ya kalo gue bilang 'aku'?" Ulfa terkekeh pelan. "Gue orang dari desa. Dari dulu menatap Jakarta sebagai kota besar impian dan sekarang di sinilah gue berpijak. Tapi ... gue nggak bakal nyangka kalo Jakarta bisa merubah gue kayak gini," cuapnya. Mata cewek itu berpendar sedih.

"Bagi saya nggak ada yang aneh dalam tiap individu. Mereka menarik karena perbedaannya. Kalo semua orang dipukul sama rata dan menuntut persamaan, saya nggak yakin hidup ini akan menarik."

Ulfa mengembangkan senyuman. "Kamu satu-satunya manusia positif di kelas ini, Nuraga. Boleh aku jadi diri sendiri pas ngobrol sama kamu?"

"Tentu, dengan senang hati."

Ulfa tampak senang dengan respon Nuraga. Jawaban yang sejatinya sudah ia duga akan mencelos ke luar dari bibir cowok itu. Teori Nuraga akan perbedaan begitu membuatnya nyaman. Pantas saja kalau Nirmala nyaman berbicara dengannya. Ulfa melirik Nirmala yang telah sampai di mejanya. Cewek itu tampak muram.

"Hai, Nirmala," sapa Ulfa dengan senyuman.

"Oh ... hai." Nirmala menatap Ulfa sesaat lalu tersenyum kecut. Cewek itu mengambil buku Bahasa Jepang dan mendekapnya erat. "Gue duluan, ya? Mau ke toilet dulu."

"O-oke," jawab Ulfa. Nirmala kembali tersenyum kecut untuk merespon kemudian berlalu ke luar kelas dengan dua pasang mata mengikutinya. Ulfa menarik napas dengan sedih. "Aku rasa ada sangkut pautnya sama Lulu."

"Lulu?" Nuraga bertanya dengan bisikan, seperti yang dilakukan cewek di depannya.

Ulfa mengangguk. "Ayo. Aku ceritain penyelidikanku sambil jalan ke kelas Bahasa Jepang."

Kemarau yang Diguyur HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang