Bab 4

1.9K 186 3
                                    

Kalau Nirmala bisa menuliskan daftar hari bahagianya di masa SMA, Nirmala akan meletakkan pertemuannya dengan Asyer pada tahun lalu di baris nomor satu. Momen di mana anggota OSIS sedang melakukan perekrutan panitia cabutan untuk acara tahunan pentas seni sekolah. Lebih tepatnya ketika Nirmala mengajukan diri dan Nanda, seperti biasa, mencemoohnya dengan keji.

Lain lagi untuk daftar kesialannya yang terlalu banyak. Bahkan jauh lebih banyak dari daftar kebahagiaannya. Nomor satu, tentunya, ia akan menuliskan pertemuannya dengan Nanda. Nomor dua dan seterusnya akan berisi tentang makhluk astral berkromosom Y yang terus menghinanya serta kesialan-kesialan lain seperti memakai sepatu putih ke sekolah. Dan, yang terakhir untuk kali ini, datangnya Nuraga ke apotek dan bertemu anggota keluarganya.

'Mbak Nara rese, titisan Baek In Ha!' batin Nirmala mengumpat, menyelipkan tokoh antagonis dalam drama Korea Chesse in The Trap. Tak hentinya ia menatap jengkel Nara yang berada di depannya. Wanita itu tengah menuliskan cara pengerjaan nomor terakhir yang tidak bisa ia dan Nuraga selesaikan. Nirmala tanpa sadar berdecih yang disadari oleh Nara. Ia menggerling senang, sukses menjahili adiknya. Nuraga tak menyadarinya, tentu saja, dia terlalu fokus dengan cara penyelesaian soal kimianya.

Satu hal yang Nirmala baru sadari. Nuraga selalu fokus dengan hal yang sedang ia tekuni.

"Nah, kayak gitu penyelesaiannya, Nuraga," celetuk Nara, memberi penekanan saat menyebut kata Nuraga. Nirmala melotot, menunjukkan kepalan tangannya dengan ganas.

Bahkan Nara menyebut Nuraga tanpa menyingkat namanya menjadi 'Ga'.

"Saya paham, Kak. Terima kasih." Nuraga sedikit mengangguk, memandang Nara yang tersenyum jahil ke adiknya. Cowok itu menggigit bagian dalam bibirnya. Sepertinya dia membuat Nirmala jengkel.

Tapi, ini semua dia lakukan demi nilainya. Kalau bukan karena PR, sudah pasti Nuraga tak akan berani ke sini dan membuat Nirmala marah seperti itu. Nirmala adalah teman baru pertamanya, orang yang telah membantunya saat ia berprilaku memalukan tempo hari. Ia seharusnya menghargai cewek di hadapannya. Lagipula, sudah cukup Nuraga membuat Nirmala jengkel padanya hari ini gara-gara tragedi di kantin.

"Sudah belajarnya?" Nareswari, ibu Nirmala dan Nara, menghampiri. Senyuman jahil turut terlengkung di wajahnya. Nirmala membulatkan mata tak percaya. Kakak dan ibunya benar-benar bersekongkol dalam hal ini.

"Ah, Tante, maaf merepotkan." Nuraga bangkit berdiri, menyalami tangan kanan Nareswari, dan mempersilahkan wanita berjilbab panjang itu duduk. Nareswari menolak dengan halus, melambaikan tangan kanannya. "Nggak usah, Nak. Ibu cuman mau lihat PR kalian sebentar terus balik urus pesanan pelanggan."

Nuraga mengangguk paham, tersenyum kecil, lalu kembali duduk.

"Memangnya susah PR-nya, Dek?" Nareswari bertanya pada anaknya. Nirmala mengangguk. "Tadinya Mala mau nanya ke Lulu aja, Bu, tapi sekarang masih jam setengah delapan. Lulu belum kelar bimbel."

"Di dekat sini ada bimbel?" Nuraga bertanya.

"Iya, Nuraga. Nirmala juga ikut bimbel dari kelas sepuluh, tapi tetep aja nggak bisa ngerjain fisika sama kimia," jawab Nara yang langsung ditendang kencang oleh Nirmala dari bawah meja. Nara mengaduh, tapi tak menghilangkan senyuman jahilnya.

Nirmala memangku dagunya dengan telapak tangan. Sikunya menjadi tumpuan. PR-nya sudah selesai, tapi kenapa Nuraga tak kunjung pulang juga?

"Nirmala jago di matpel (mata pelajaran) Biologi?" Nuraga bertanya lagi. Kini Nirmala yang menjawab sebelum Nara berulah lagi.

"Iya, gue nggak pernah ikut remedial sampai detik ini," ucap Nirmala tanpa merendahkan aksen tak sukanya.

Nuraga merasakannya. Saat ini dia sedang tak fokus dengan sesuatu. Ia tersenyum kikuk sembari mengusap lehernya, merasa canggung. Nara menyatukan alisnya, melakukan protes dengan tatapan mata pada Nirmala yang mengalihkan pandangannya ke luar.

Kemarau yang Diguyur HujanWhere stories live. Discover now