Gue mengangguk dengerin Krystal cuap-cuap nasehatin gue. Sebagian ada yang gue masukin otak, sebagian ada yang gue buang.

"Paham gue mah,"

"Lo tau gak? Kemaren si Dimas nanyain kontak WA lo ke gue," Krystal bereaksi berlebihan ngasih tau sesuatu yang menurut gue gak ada faedahnya sama sekali.

Ah, gue belum ngasih tau. Semenjak gue nolongin Eko, gue jadi viral satu sekolah. Sampai sekolah lain. Bangsat emang. Apalagi di videoin dan up ke instagram. Rasanya hati gue gondok banget.

Tanpa memandang Krystal, dalam arti, gue setengah hati nanggepin, gue jawab, "Jangan di kasih," cukup buat Krystal mengangguk patuh.

Please, lah! Ngapain Dimas minta kontak gue. Buat jadiin gue bahan bullyan dia selanjutnya setelah Eko? Sorry, mince tak sudi.

"Dia masuk UGM juga, Ann. Tapi, bagian Teknik Mesin,"

Gue masih sibuk sama camilan, "Hmm.. Karena apa nih? Karena jabatan orangtuanya, atau karena murni pake otak?"

Setau gue, Dimas itu gak begitu pinter. Buktinya, Egi aja udah daftar ke UI sama ITB di tolak. Otak Dimas kan sama rata kayak otak Egi. Tapi gak tau sih kalau Dimas 'beruntung'. Mending Adimas di webtun pasutri gaje dari pada Dimas ini. Beneran, dah, suwer sekewer kewer.

"Mana gue tau. Gak penting juga gue cari tau,"

Gue terkekeh pelan, "Kasian kan, kuliah di universitas kenamaan, eh otaknya gak nyampe. Bisa di drop out duluan sebelum nyusun skripsweet,"

"Urusan dia. Selama gue yang gak di drop out, fine fine aja. Rela lahir batin gue mah kalau Dimas di drop out,"

Gue sama Krystal tertawa berbarengan. Sekali jahat mah, jahat aja. Ngapain gue sok baik ke orang yang jahat seantero Jogja.

"Gue berharap, gak ada Eko Eko lainnya buat jadi mangsa empuk dia,"

Krystal mengangguk setuju sama ucapan gue, "Untung, Papi kekayaannya di atas orangtua Dimas. Jadi lo bisa lepas dari dia. Coba kalau orang tua lo ekonominya kayak orang tua Eko, bisa jadi the next Eko,"

"Gak takut gue, walau orang tua gue ekonominya pas-pasan juga. Salah ya salah. Kalau salah, ya jangan di benarkan. Ngelunjak nanti,"

Krystal terkekeh pelan, "Eko sekarang kerja di Mall Malioboro. Jadi karyawan disana,"

"Gakpapa. Yang penting halal. Toh, niat dia bantu ekonomi keluarga buat biayain adik-adiknya,"

Krystal merebahkan dirinya ke ranjang queen size gue, "Tapi sayang, Ann. Otak dia tuh pinter lho. Gak segoblok Dimas,"

Emang ini anak, ya. Ceplas ceplos ngatain orang sesuka hati. Gak heran sih. Cocok juga sama mukanya yang cool. Coba kayak Wendy ngatain goblok ke orang. Gue shock mendadak. Secara, Wendy alim, terus ngeluarin kata kasar.

"Ya gakpapa. Bisa jadi, dia cuma nunda kuliahnya karena ngumpulin uang. Gak mau nyusahin orang tuanya,"

"Gak kayak kita, ya. Money abis, langsung ngadahin tangan ke orang tua,"

Gue memutar mata malas, "Itu sih elo, Tal. Kalau gue kan tinggal telepon, langsung di transfer. Jadi gak perlu nadahin tangan buat minta uang,"

Krystal cuma ketawa-ketawa aja.

Gak lama, ada suara ketukan pintu kamar, "Kak?? Lo belum tidur, kan?"

"Masuk, Jis," gue udah hafal suara Jisoo. Ya kali, Mbak Sri manggil gue 'kak'. Ngelawak.

Jisoo buka pintu kamar dan berjalan ke gue. Dia nyerahin handphonenya ke gue. Aing mah bingung, dia nyerahin handphone gak ngomong apa-apa. Terus gue kudu piye? Jadi, gue diemin gak nerima handphone dia, dengan alis yang mengerut karena bingung.

something new ✔Where stories live. Discover now