Bab 41

39.3K 2.1K 90
                                    


Elena merapatkan mantelnya sebelum memasuki sebuah bangunan yang sudah sebulan ini dia lupakan atau lebih tepatnya tidak dikunjunginya. Dalam hatinya yang paling dalam dia selalu bertanya tentang kabar laki-laki yang pernah menyatakan perasaannya dulu. Ada sedikit rasa bersalah dan rindu sebagai seorang teman. Ya, Elena masih tetap menganggap Robert sebagai temannya sampai kapan pun. 

"Hai." 

Laki-laki di depan Elena seolah terpaku beberapa saat sebelum berlari ke arahnya dengan cepat. "Elena, ini sungguh kau?" tanya Robert masih belum bisa percaya dengan apa yang saat ini dilihatnya.

"Iya, ini aku." Elena tersenyum manis dan tanpa aba-aba terlebih dahulu Robert langsung memeluknya.

"Aku merindukanmu," ucap Robert masih memeluk tubuh Elena erat.

"Maafkan aku." Elena semakin merasa bersalah karena menghilang begitu saja. 

Untuk beberapa saat Robert masih setia memeluk tubuh Elena seolah menyalurkan seluruh perasaan rindunya selama ini. Sampai sebuah gerakan yang berasal dari perut Elena membuat Robert melerai peluakannya.

"Dia bergerak?" tanya Robert sedikit tidak percaya.

Elena terkekeh kecil. "Tentu saja dia bergerak."

"Bagaimana kabarmu?" tanya Robert kemudian. 

Robert sudah tahu jika selama ini Elena bersama dengan Jeff. Sebab laki-laki itu sendiri yang datang ke restorannya untuk memberikan kabar mengenai Elena. Dia tidak marah atau memukul Jeff saat itu. Robert sendiri sadar jika dirinya hanya sebatas teman untuk wanita hamil itu. Dan mungkin ada sesuatu yang harus diselesaikan antara mereka berdua meskipun robert tidak tahu pasti masalah antara Elena dan Jefferson.

"Aku baik-baik saja."

"Duduklah." Robert menuntun Elena ke salah satu kursi restoran kemudian duduk saling berhadapan.

Elena menatap sekeliling, tempat yang sudah mau menampungnya selama beberapa bulan ini. Dia akan merindukan temapt ini dan juga orang-orang di dalamnya.

"Di mana Chaterine?" tanya Elena berusaha mencari wanita yang telah banyak membantunya itu.

"Dia sedang berlibur bersama ayahku."

"Sayang sekali, padahal aku ingin berpamitan sekaligus berterima kasih."

"Apa kau akan meninggalkan New York?" selidik Robert.

"Mungkin."

"Apa laki-laki itu masih tidak mau bertanggung jawab?" Kali ini Robert menatap Elena dengan serius.

"Tidak. Maksudku, dia mau bertanggung jawab bahkan mengajakku menikah."

Mata Robert membulat setelah mendengar jawaban Elena. "Lalu apa masalahnya?"

"Entahlah. Tujuanku datang ke New York bukan untuk menikah, tapi hanya ingin mendapatkan pengakuan bodoh yang membuat aku terjebak dengan begitu banyak masalah."

Elena menerawang lagi pada beberapa kejadian yang bahkan hampir menelan nyawanya.

"Kau tidak apa-apa?" tanya Robert saat melihat Elena melamun.

" Aku tidak apa-apa. Terima kasih atas semua bantuan yang telah kau berikan. Aku berutang budi padamu."

"Kalau begitu menikahlah denganku."

Ucapan Robert membuat tubuh Elena menegang karena terkejut. Mata mereka saling beradu. Hening seketika menyelimuti.

Robert menatap Elena dengan serius sebelum terkekeh kecil. "Sudahlah. Aku tidak mau patah hati untuk yang kedua kali karena penolakanmu."

"Maafkan aku." Elena memegang tangan Robert. Dia menyesal karena tidak mampu untuk membalas perasaan Robert padanya. Robert adalah laki-laki yang baik, bahkan terlalu baik. Laki-laki seperti itu berhak memiliki wanita yang baik pula. Dan Elena tidak merasa cukup baik untuk berada di sisi Robert.

"Kau pantas bahagia Elena. Apa pun keputusanmu, kau harus bahagia dengan bayimu tentu saja."

"Terima kasih." Elena tersenyum manis.


*****

Elena mengetuk pintu berwarna cokelat di depannya dengan pelan hingga dia mendengar sahutan dari dalam. Wanita dengan perut buncit itu pun masuk kemudian menutup pintu kembali. Matanya bersirobok dengan manik biru milik laki-laki yang kini duduk di kursi kerja.

"Ada apa Elena?" Jeff bangkit kemudian menghampiri Elena. Menggandeng tangannya lalu duduk di sofa kulit berwarna cokelat.

"Aku ingin membicarakan sesuatu," ujar Elena setelah mereka duduk bersebelahan. Jeff bisa menangkap keseriusan dari wajah cantik wanita yang kini tengah mengandung darah dagingnya tersebut.

Sebelum berkata lagi, Elena membasahi tenggorokannya yang tiba-tiba kering. Kedua tangannya pun saling berkaitan. "Aku ingin pulang ke Virginia."

Ucapan Elena tentu saja membuat Jeff terbelalak. "Apa maksudmu?"

Jefferson bukannya tidak mengerti, tapi dia membutuhkan alasan yang jelas. Tentu saja Elena ingin pulang, wanita itu tentu merindukan keluarganya, bukan?

"Aku ingin pulang ke Virginia dan melahirkan bayiku di sana."

Dahi Jefferson mengernyit. Dia masih terkejut dengan perkataan Elena. 

"Tunggu... tunggu, kau bilang apa?"

"Aku ingin pulang ke Virginia dan melahirkan bayiku di sana." Satu embusan napas panjang terdengar setelah Elena mengucapkan kalimat tersebut. Seolah beban yang dipikulnya lenyap tak bersisa.

"Kau bercanda, kan?" tanya Jefferson masih belum percaya atau dia tidak ingin mempercayai kalimat yang baru saja keluar dari bibir wanita cantik di sampingnya.

"Aku serius Jeff, dan aku sudah memikirkan hal ini sebelum kau bersedia untuk mengakui bayi ini." Mimik wajah Elena tidak menampakkan lelucon sama sekali.

"Jadi... kau menolakku?" Tubuh Jefferson bergerak agar bisa menghadap Elena. Meraih tangan wanita itu dan menggenggamnya erat.

Elena memejamkan mata, merasakan kehangatan yang disalurkan dari tangan besar milik Jefferson. Membuka mata kembali kemudian berkata, "Aku ke sini untuk mendapatkan pengakuan dan itu sudah kudapatkan jadi aku ingin pulang." 

Jantung Jefferson terasa diremas. Inikah yang dinamakan penolakan? Beginikah rasanya? Sakit, tetapi tidak berdarah. Paru-parunya sesak seakan oksigen disedot paksa untuk meninggalkan tubuhnya. Dia membeku untuk beberapa saat.

"Kau tahu jika aku ingin bertanggung jawab, bukan hanya sekadar memberikan pengakuan, tapi aku ingin kita menikah, Elena," tegas Jefferson setelah berhasil mencerna semua perkataan Elena.

Tidak. Dia tidak boleh menyerah sekarang. Dia tidak boleh menjadi bodoh untuk kesekian kalinya. Sudah cukup dia telah membuat kesalahan dan dirinya ingin memperbaiki semua dari awal. Memulai dari awal lagi, bersama Elena dan juga bayinya tentu saja.

"Maaf," lirih Elena. Wajahnya menunduk. Matanya mulai panas, tapi dia mencoba untuk menahan lelehan bening itu supaya tidak jatuh kemudian membasahi pipinya. Dia tidak boleh lemah kali ini. Sudah cukup dia ditolak kemudian diinginkan, Jeff tidak benar-benar memiliki perasaan kecuali rasa tanggung jawab terhadap bayinya.

"Apakah ajakan pernikahan itu belum jelas untukmu?" Suara Jefferson naik setengah oktaf. Ada penekanan di setiap kata dan seperti diselimuti oleh amarah yang ditekan.

Elena menoleh dan mendapati wajah Jefferson yang menatapnya lekat. Wajah mereka hanya berjarak beberapa senti. Elena dapat merasakan embusan napas panas yang menerpa wajahnya. Dia menyadari jika laki-laki di dekatnya ini sedang meradang, menahan amarah oleh penolakannya yang tidak langsung.

"Aku tidak bisa. Maafkan aku." Elena masih menatap mata Jeff. Perlahan tangannya terulur untuk mengusap rahang yang ditumbuhi bulu-bulu halus. Wajahnya mendekat lalu dia memberikan kecupan lembut pada bibir Jeff. Hanya kecupan singkat, tidak lebih. Setelah itu, Elena bangkit dan meninggalkan Jefferson yang masih mematung.

Sampai pintu itu terbuka dan tertutup lagi, Jefferson masih belum bergerak. Otaknya masih mencerna semua perkataan Elena. Dia kemudian ingat perkataan ibunya. 

Lebih baik jika seorang wanita itu marah dan masih bersedia untuk di sisimu, daripada dia memaafkanmu dengan mudah lalu meninggalkanmu.

Elena tidak marah. Wanita itu hanya diam dan dengan mudah memaafkannya.  Sekarang wanita itu akan meninggalkannya dengan membawa serta anaknya yang masih di dalam perut. Jefferson masih kalut dalam pikirannya sendiri. Dia sudah kalah sekarang, apa yang diharapkan tidak akan menjadi kenyataan. Pernikahan? Itu tidak akan terjadi, dirinya terlalu banyak menyakiti dan menyia-nyiakan keberadaan Elena selama ini. Tentu saja wanita itu akan menolaknya mentah-mentah.

Apa yang harus dilakukannya sekarang?


****

Hallo semuanya, Apa kabar?

Maaf, aku lama publish cerita ini gara-gara hp-ku hilang dan hilang pula kerangka cerita ini dan akhirnya mangkrak karena harus mikir ulang. Maafkan saya dan terima kasih sudah mau menunggu cerita ini.

Happy Reading

Vea Aprilia

Rabu, 23 Januari 2019




Baby, Pull Me Closer- E-BOOK DI PSWhere stories live. Discover now