Bab 33

37.9K 2.1K 96
                                    

Mata Jefferson melebar saat membaca isi dari amplop cokelat yang baru saja diberikan oleh sekretarisnya. Dia bahkan telah membacanya berulang kali sejak lima belas menit yang lalu. Berulang kali hingga membuat matanya terasa pedih.

Tidak. Bukan matanya yang terasa pedih, tapi hatinya.

Hatinya seperti baru saja dihantam oleh godam yang membuatnya hancur berkeping-keping. Sakit, tapi tidak berdarah.

Wajahnya pun berubah menjadi lebih sendu. Terlihat guratan otot yang muncul dari rahangnya. Dia seperti sedang menahan gejolak amarah sekaligus penyesalan secara bersamaan.

Jeff marah pada dirinya sendiri. Jeff ingin memukul dirinya sendiri.

Dia benar-benar laki-laki yang bodoh. Laki-laki yang buta dengan kenyataan yang ada. Laki-laki yang egois. Laki-laki yang begitu sombong hingga tidak bisa membedakan antara kebenaran dan kebohongan.

Jeff menatap kembali berkas yang sedang digenggamnya. Pegangannya mengerat pada selembar kertas tersebut.

Selembar kertas yang sudah menjungkir-balikkan dunianya. Selembar kertas yang sudah menunjukkan, betapa bajingan dan brengsek dirinya. Selembar kertas yang sudah berhasil membuatnya menyesal. Dan selembar kertas yang sudah menunjukkan jika janin itu adalah darah dagingnya.

Ya, selembar kertas tersebut adalah hasil tes DNA yang telah keluar. Di sana tertulis jika 99,99% cocok dengan dirinya. Dia ingin menyangkal, tapi kebenaran dan bukti itu sudah ada di tangannya. Laki-laki itu malah akan terlihat bodoh dan lebih berengsek lagi jika masih saja tidak percaya.

Dia kemudian meremas kertas tersebut. Ada rasa menyakitkan dalam hatinya. Jeff ingat bagaimana wanita itu pertama kali datang kepadanya dan mengatakan jika sedang mengandung darah dagingnya. Namun, dia terlalu sombong untuk mau mempercayainya dan langsung menolaknya. Bahkan menyuruh wanita itu untuk menggugurkan janin itu.

Jeff juga ingat bagaimana wajah terluka Elena, saat dia menolak bayi itu. Bagaimana wanita itu mencoba terlihat kuat dan tegar di hadapannya. Bagaimana wanita itu dengan tekad kuat, melindungi janin itu. Ya, janin itu, darah dagingnya. Anaknya. Keturunannya.

Namun, dengan bodohnya dia menolaknya. Dulu.

Sekarang dia tidak tahu harus bagaimana menghadapi Elena. Wanita itu pasti akan menolak kehadirannya. Walaupun dia pernah berjanji tidak akan melepaskan Elena jika hasil tes tersebut telah keluar, tapi dia tahu bagaimana dirinya telah melukai perasaan Elena. Berapa sering dia telah melecehkan wanita itu.

Jeff menyugar rambutnya kasar. Dia menyesal sekarang, tapi Jeff tidak ingin menjadi bodoh lagi. Laki-laki itu tidak ingin melepaskan Elena, apalagi dengan adanya darah dagingnya di dalam perut wanita itu.

Tidak.

Dia tidak akan melakukan hal yang sama. Anaknya tidak boleh bernasib sama dengan dirinya. Bayi itu harus tumbuh dengan kasih sayang darinya.
Bayi itu harus tahu siapakah ayahnya sejak pertama kali melihat dunia. Ya, Jeff akan mempertahankan Elena dab juga anaknya apa pun yang terjadi.

****

"Kita harus bicara," ucap Jeff ketika Elena ingin masuk ke dalam gedung apartemennya.

Wanita itu baru saja kembali dari supermarket. Dia sudah memutuskan untuk tidak bekerja lagi di restoran Robert setelah laki-laki itu tahu keadaannya.

Elena terkejut melihat Jefferson sedang memegang erat lengannya. Wajah Elena menjadi pias seketika. Dia takut jika laki-laki itu akan menyakitinya lagi.

"Aku berjanji tidak akan menyakitimu dan juga bayi itu." Jeff seperti tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Elena.

Elena tentu saja tidak langsung percaya begitu saja. Dia masih trauma dengan sikap Jeff padanya.

Karena Elena tidak bereaksi apa-apa, Jeff lalu mengeluarkan selembar kertas dari dalam jasnya.

"Ini adalah hasil tes DNA." Jeff menyerahkan kertas tersebut ke tangan Elena.

Wanita itu tidak perlu membacanya karena sejak awal dia sudah tahu bahwa anak yang sedang dikandungnya adalah darah daging Jefferson.

"Apa yang kau inginkan?" tanya Elena dingin. Tangannya tanpa sadar telah memeluk perutnya dengan erat. Sedangkan kertas tersebut telah dia buang ke ke atas tanah.

Gerakan tersebut tentu tidak luput dari penglihatan Jeff. Dia tahu apa yang sedang dipikirkan oleh wanita di depannya ini. Dan itu juga adalah keinginannya sekarang.

"Tentu saja aku menginginkan anak itu," ucap Jeff dengan lantang.

Tubuh Elena tak urung menegang. Dia tidak menyangka laki-laki itu akan mengucapkan hal tersebut. Hal terakhir yang Elena yakini tidak akan mungkin terjadi. Namun, ternyata malah sebaliknya.

"Kenapa?" Jeff bertanya sambil mengerutkan dahi.

"Kau sudah menolaknya, kalau kau lupa. Bahkan kau ingin membunuhnya," ucap Elena penuh dengan penekanan dan juga kebencian.

Laki-laki itu memejamkan matanya untuk beberapa saat. Dia tahu hal itu dengan jelas dan dia sekarang menyesal telah mengucapkan kalimat sialan itu.

"Aku menyesal."

"Apa?" tanya Elena terkejut.

"Aku menyesal dan aku minta maaf telah melakukannya dulu." Tatapan Jefferson berubah menjadi sendu.

Elena tidak sedang bermimpi bukan? Laki-laki ini baru saja meminta maaf padanya. Apa dunia akan kiamat?

"Apa kau pikir, aku akan percaya begitu saja?" Elena tidak ingin menjadi bodoh untuk mempercayai perkataan laki-laki ini begitu saja. Dia pernah dilukai, ditolak, hampir diperkosa, dilecehkan, diculik, bahkan laki-laki ini ingin membunuh anaknya. Wanita itu masih ingat dengan semua itu. Bahkan sampai detik ini. Laki-laki di depannya ini tidak mungkin berubah secepat itu hanya karena selembar kertas bodoh tersebut. Tidak. Elena tidak akan percaya.

 Jeff menarik napas kasar. Dia tahu ini tidak akan semudah yang dibayangkan. Waita di depannya ini tidak mungkin mau percaya begitu saja. Namun, bukan berarti Jeff akan menyerah begitu saja. 

"Kalau kau tidak ada urusan lagi, silakan pergi," usir Elena. Kemudian dia dengan cepat melangkah untuk masuk, tapi berhenti ketika suara Jeff terdengar.

"Anak itu butuh status bukan?"

Pegangan tangan Elena di knop pintu semakin erat. Dia memejamkan mata kemudian membukanya kembali. Ya, memang itu adalah tujuannya datang ke New York. Namun, hal itu pula yang sudah membuatnya menyesal setelah laki-laki itu menolaknya. Anaknya sudah tidak butuh sebuah status atau pengakuan. Bahkan sejak Jefferson menolaknya untuk pertama kali.

Jefferson menunggu reaksi yang akan diberikan oleh Elena, tapi wanita itu hanya berhenti sebentar lalu masuk ke dalam gedung. Dia kemudian mengerang frustasi. Ini memang tidak akan mudah setelah semua yang terjadi. Kata maaf dan penyesalan tidak dapat membuat wanita itu luluh seketika. Bahkan dengan status yang dia tawarkan. 

Dia kemudian menunduk untuk mengambil kertas yang telah dibuang oleh Elena. Menyimpannya kembali, lalu dengan langkah berat Jeff berjalan meninggalkan gedung apartemen Elena. Dia tidak bisa memaksa wanita itu untuk saat ini. Jeff berpikir jika wanita itu juga butuh waktu untuk sendiri.

Setelah kepergian Jeff, ada dua sosok  laki-laki yang sedari tadi memperhatikan kejadian tersebut.

 Satu orang  muncul dari balik tembok. Rahangnya terlihat mengeras. Ada amarah yang siap meledak di sana. Satu tangannya terkepal di tembok. Matanya nyalang melihat kejadian tersebut. Sedangkan yang satu lagi berada di dalam mobil. Mengawasi dalam diam.

Mereka sama-sama melihat ke arah gedung apartemen Elena, kemudian pergi. Kedua laki-laki itu memiliki rencana masing-masing untuk Elena. Rencana baik dan juga buruk.

****

Hallo semuanya....

Hayo tebak siapa dua laki-laki tadi?

Oh ya, aku mau ngingetin kalau merasa cerita ini ngebosenin, nggak perlu maksa buat lanjut baca. Karena aku juga gak pernah maksa buat suka dan baca cerita ini.

Aku nulis buat seneng-seneng. Ya kalau naik cetak itu bonus.

Happy reading
Vea Aprilia
Jumat, 16 November 2018

Baby, Pull Me Closer- E-BOOK DI PSWhere stories live. Discover now