I. Way Back Home

37.1K 4K 674
                                    


Coba bisa putar lagu Shaun-Way back home ataupun Landon Pigg-Falling in love at coffe shop. Ada yang punya rekomendasi kafe favorite di tempat kalian?


===


Musik memenuhi sudut kafe dengan ritme yang cocok sekali menemani duduk sendiri sambil menyesap segelas greetea panas. Perlahan agar rasanya terkecap sempurna bukanya malah membuat lidah terbakar. Terbiasa akan suhunya dan membuat seluruh badan menjadi hangat mengalahkan pendingin ruangan maupun gerimis di luar sana. Kaca kafe berembun sehingga telunjuknya dapat bermain-main menorehkan tulisan tidak jelas atau sekadar gambar hati sambil tersenyum menatap keluar jalan. Beberapa orang lalu lalang menggunakan payung—ada yang terburu-buru ataupun berbincang bersama temannya. Senyum tipis terukir di bibir tebal gadis itu. Menghela napas begitu lembut seraya perasaannya bercampur aduk di mana kerinduan, nyaman dan pilu sedang berlomba-lomba menentukan siapa yang paling dominan. Seoul masih sama seperti saat dia memutuskan pergi dari sana. Sekalipun beberapa bangunan bertambah atau berganti menjadi yang lain, tapi suasananya masih begitu khas. Sulit dideskripsikan dengan kata kecuali perasaan ingin memejamkan mata dan membiarkan angin bersenandung di telinganya.

Kafe tempat Kim Taeri duduk dengan nyaman hari ini bukan tempat pertama yang dia datangi saat kembali ke Seoul. Kafe etnik tersebut baru buka sekitar jam lima sore sementara sekarang baru pukul sembilan pagi di mana dirinya lebih memilih berada di luar daripada dalam kamar untuk saat ini. Beberapa hari yang lalu dia sudah cukup tertekan dengan semua yang dialami perihal tulisan. Berhari-hari tidak keluar rumah ataupun mengendap di kamar berkutat dengan cerita yang bahkan tak menghasilkan apapun yang berarti. Sangat menyedihkan. Bisa dibilang baru hari ini dirinya bisa merasa kebebasan dari dirinya sendiri. Mengabaikan tulisan-tulisan yang membuat dia menyalahkan dirinya terus-menerus.

Bunyi dering lonceng bel berbunyi ketika pintu kafe terbuka. Salah satu yang gadis itu sukai dari kafe itu adalah interior yang manis—menggemaskan. Dulu ketika dia masih sekolah kerap mendatangi kafe ini terlalu sering bersama temannya. Kayu jati berwarna coklat mengkilap ditambah dinding putih bersih membuat kesan hangat. Apalagi saat in ditambah kehadiran seseorang dengan senyuman yang tidak kalah hangatnya. Matanya menyipit membuat kerutan di ujung pipi—biasa disebut eye crinckle. Senyuman lebar memamerkan deretan gigi kecil yang rapih dengan dua terdepan lebih besar dari lainnya sebagai pemanis, seperti kelinci. Wajahnya terlihat bahagia sekali sambil melambaikan tangan dengan menggemaskan untuk menyapa sebelum ke konter memesan minuman untuk menemani. Sengaja agar tidak perlu bangkit ketika sudah sampai di depan Taeri.

Satu gelas Ice Americano di tangan. Jungkook mendaratkan bokongnya di kursi tepat di sebrang Taeri. "Maaf aku terlambat," ujar Jungkook terlihat menyesal.

Taeri tersenyum ramah dan lalu mengacak-acak rambut Jungkook. Lucu rasanya melihat adik kecil yang dulu mengikutinya ke mana-mana seperti kelinci sekarang telah tumbuh. "Tidak masalah, apapun untuk Jungkookie."

Jungkook terdiam sesaat dan perlahan wajahnya memerah. Tak berontak sama sekali tapi membuang muka sambil menutup setengah wajahnya dengan lengan. "Noona hentikan itu."

Mendengar itu Taeri langsung tersadar dan menyingkirkan jemarinya dari rambut Jungkook yang begitu lembut itu. Merutuki diri berkali-kali akan kebodohannya. "Maaf." Wajah Taeri berubah masam seketika. "Seharusnya aku tidak melakukan itu. Pasti kau tak nyaman sekali, padahal kita sudah lama tak bertemu dan sekarang aku malah—"

"Tidak. Aku menyukainya," potong Jungkook dengan segera namun tanpa melirik sama sekali pada Taeri. Matanya malahan menatap ke luar jendela seakan di sana ada pertunjukan sirkus yang begitu menarik. Padahal satu-satunya yang terlihat hanya genangan air dari hujan yang semakin besar.

LIMERENCE ✓Where stories live. Discover now