"Malam pak, maaf tapi saya sudah memutuskan sekarang" Tulis gue, dan itu setelah hampir lima kali gue memutuskan untuk menulis dan kemudian menghapusnya lagi. Sampai tiba-tiba panggilan masuk ke ponsel gue sebelum pesan itu terkirim.

"Halo." Gue mengangkat telepon itu karena itu dari si bos.

"Halo, kamu masih di kantor?"

"Masih pak." Jawab gue singkat.

"Saya mau minta tolong." Katanya.

"Apa pak?"

"Tolong ambil amplop coklat di laci paling atas meja saya, saya butuh dokumennya buat besok pagi, tapi saya sudah terlanjur sampai apartment."

"Baik pak, saya antar ke apartment bapak."

"Oh, nggak perlu. Saya akan minta supir untuk ambil map itu. Tolong amplopnya di seal saja lalu titip di security, soalnya itu confidential."

"Oh . . ."

"Oh . . .?" Dia mempertanyakan kenaoa gue ber-oh.

"Baik pak." Cepat-cepat gue mengkoreksi.

Beberapa saat hening.

"But if you wanna come, it's up to you." Dia mengkoreksi kemudian. Lucu aja sih, kami kaya main tarik ulur. Gue yang pengen dateng dan dia bilang nggak usah. Dan setelah gue setuju untuk nggak dateng, dia justru membuka peluang.

"Is that ok if I come?" Batin gue, dan yang terucap "Saya akan titip di security pak."

"Ok, thanks." Pungkasnya.

"Ok" Ucap gue lemah.

"Oh, soal surat resign kamu, bisa kirim ke email saya saja langsung."

"Baik."

Sambungan terputus, dan gue segera melakukan apa yang dia minta. Mambawa amplop coklat itu ke meja security dengan meninggalkan pesan bahwa nanti supirnya si bos akan ambil tu amplop.

Berjalan gontai, hari ini gue sengaja nggak langsung pulang. Mampir ke kedai kopi friendcise-an dan memesan late. Menyesapnya sambil mendengarkan musik melow. Gue nggak menyangka bahwa semua akan serumit ini.

Waktu gue mau telepon ke rumah, ngabarin kalau gue balik agak telat, gue baru menyadari kalau ponsel gue ketinggalan di kantor.

"Arrrrggghh"

Terpaksa gue balik lagi ke kantor dan sesampai di kantor gue keinget sama amplop coklat si bos.

"Pak Karmin, amplopnya sudah diambil?"

"Sudah mba." Jawabnya.

"Kok balik lagi mba?" Tanya pak Karmin heran.

"Handphone saya ketinggalan." Jawab gue nyenyir.

"Kan bisa besok aja, udah malem begini."

"Takut pacar saya nelepon." Seloroh gye sambil ngeloyor menuju lift.

Sesampai di meja gue, bener tu ponsel masih tergeletak di posisi yang sama, sebelum gue ambil amplop di meja si bos.

"Masih betah di kantor?" Pertanyaan itu membuat gue terlonjak.

"Mr. Ken?" Gue memastikan pandangan gue nggak salah, karena beberapa lampu sudah mati.

"Kamu ngapain jam segini masih di kantor?"

"Em, tadi sudah di jalan pulang, tapi ponsel ketinggalan."

"Ok, pulangnya bareng saya aja." Katanya.

***

"Bukan pak Pan yang ambil amplopnya?"

"Anaknya demam, dia minta ijin pulang cepat."

"Tau gitu tadi saya anter ke apartment bapak saja."

"Saya mau minta kamu antar, tapi saya hubungi kamu lagi nggak di angkat." Jawabnya dan gue langsung check missed call, tiga kali.

"Sorry sir"

"It's ok. By the way, kamu sudah makan?"

"Em, nanti saja makan di rumah. Biasanya mama masak."

"Kasih kabar orang rumah kalau kamu balik telat, kita makan dulu. Lagian saya sudah booking tempat makan tapi orangnya nggak bisa dateng."

"Saya turun di sini saja, mau langsung pulang."

"This is an order, anggap saja last order as your boss."

"Ok." Lagi-lagi di ingetin soal resign. Gue akhirnya mengirim pesan ke kakak gue dan dia bilang akan menyampaikan ke nyokap. Sebenernya in] belum terlalu malem sih, karena biasa juga gue pulang di atas jam sebelas malam.

***

Kami makan malam di hotel berbintang, dan table set-nya tu di bikin romantic dinner gitu deh. Sumpah itu bikin baper banget.

"Ini nggak salah?" Desis gue pelan.

"Nggak ada yang salah, kamu oesen apa yang kamu pengen makan."

"Ini semua makanan mahal." Batin gue.

"Saya minum saja." Jawab gue.

Dia tersenyum "Minum saja bisa kembung. Pilih makanan yang kamu suka, saya yang bayar." Katanya sebel[m memanggil pramusaji.

Dunia gue jungkir balik begitu bos gue datang. Yang tadinya seluas daun kelor sekarang banyak hal tak terjangkau sama gue bisa gue rasakan. Makan di resoran kekinian yang agak mahalan sih udah beberapa kali, walaupun ngga sering. Tapi kalau makan di hotel dengan rate dolar, kalaupun punya duit gue akan tetep mikir-mikir.

Makanan pesanan kami datang, meskipun pada akhirnya si bos yang milihin makanan buat gue.

"Tadinya saya janjian sama orang, tapi last minute dia cancel. Daripada saya makan sendiri, kebetulan kamu juga belum makan, jadi saya ajak kamu makan di sini."

"Oh . . ."

"Oh . . .?" Alisnya bertaut mendengar gue ber Oh. Seperti ada yang janggal setiap kali pebjelasannya gue jawab dengan "oh"

"Enggak, I mean, ok." Gue mengkoreksi.

Dan berikutnya kami hanya makan. Dan selepas makan malam gue memilih untuk pulang dengan taksi, karena hotel temoat kami makan sudah dekat dengan apartment si bos sementara itu berlawanan arah dengan rumah. Jadi kami berpisah setelah makan, dan hanya makan, tanpa membicarakan apapun.

Lumayan lah, menjadi pemeran pengganti seseorang yang entah siapapun itu, tapi gue yakin dia bukan orang sembarangan, mengingat situasi di restorant tempat kami makan tadi. Hanya ada kami berdua, candle light dinner, musik, nggak ada yang di rubah dari set awal.

Ah entahlah . . . .




My New Boss #Googleplaybook #JE Bosco PublisherWhere stories live. Discover now