Part 8 - Untitled

22.5K 1.9K 256
                                    

Jino tak melepaskan pelukannya. Laki-laki itu memeluknya dengan erat, ia bahkan mengeratkan kembali pelukannya saat Haru mulai bergerak untuk memisahkan diri mereka, dan itu semua membuat Haru tak bisa menahan tawanya. Tingkah Jino ini sangat lucu, ia seperti anak kecil yang tidak mau makanannya diminta oleh temannya, semenggemaskan itu, dasar.

Haru pergi ke Malaysia hari ini, dia sudah menyelesaikan semua tes dan pendaftaran untuk sekolahnya sesuai dengan yang ia inginkan—jurusan Pastry. Sementara Jino, dia memprotes habis-habisan karena ketika Jino berhasil mendapatkan beasiswa sebagai syarat untuknya tinggal di Bandung, Haru malah pergi dari Bandung. Laki-laki itu merajuk selama seminggu belakangan, tidak mau membicarakan kepergian Haru sama sekali dan pekerjaannya mengajak haru berfoto, jalan-jalan, dan kesana kemari hingga kelelahan. Tebak apa yang terjadi setelahnya? Jino dimarahi habis-habisan oleh Reno ketika ia mengantarkan Haru ke rumah. Ayahnya menatap Jino tajam seraya berkata, "Emang yang mau kangen-kangenan sebelum Haru pergi itu kamu aja? Sebelum kamu juga saya dulu! Bapaknya dulu!" oh, perdebatan tiada akhir itu. Seperti sekarang, terjadi lagi persaingan merebutkan Haru Antara Reno dan Jino. Saat Jino masih memeluknya dan Haru tak bisa melepaskan dirinya, Reno turun tangan. Ayah tiga anak itu menarik pelan Haru agar pelukan Jino terlepas.

"Udah peluk-peluknya. Kamu ini kok lancang banget peluk anak orang di depan orang tuanya? Saya loh Jino, dulu nggak berani pegang tangan Sharen di depan Ibunya. Kok anak sekarang malah begini, nggak habis pikir."

Seketika tawa terdengar dari seorang wanita yang berdiri di sampingnya—Sharen—istrinya. Ia memukul pelan pundak suaminya dan berkata, "Gila ya By kamu itu. Nggak apa-apa lah pelukan perpisahan, kayak sendirinya nggak pernah begitu aja kalau mau keluar kota."

"Beda dong Sha. Kita kan suami istri, mereka ini masih anak-anak loh," gerutunya.

Jino memasang tampang sedihnya, ia menatap Reno seraya memelas, "Papa Reno mah, kayak nggak ngerti aja sedihnya ditinggal."

"Kamu itu Jino, sedihnya harusnya ditinggal Mamamu ke Kalimantan, bukan ditinggal Haru ke Malaysia."

"Nih ya Papa Reno, kalau ditinggal Mama ke Kalimantan, ya nggak apa-apa, mau Mama di Kalimantan, mau Mama di Papua, atau dimana pun ya nggak akan merubah apa-apa, beliau tetep mama aku. Tapi beda lagi kalau misalnya ditinggal Haru ke Malaysia."

"Bilang aja takut ada yang ngambil Haru," sambar Maryam—nenek Haru.

Semua orang tertawa, termasuk Haru yang malah meledek Haru habis-habisan. Benar, semua orang tertawa, kecuali Reno. Pria itu malah menatap Jino galak dan berkata, "Sekarang sih bilangnya takut Haru ada yang ambil. Siapa yang tahu begitu Haru di Malaysia sehari, dia udah punya gandengan."

"Eh, By!"

"Papa!"

"Reno ih!"

"Papa Reno maaaah!"

Semuanya mengatakan hal tersebut secara bersamaan dan terdengar bagai serangan kecil yang berkumpul hingga meledak jadi bom dan menghancurkan semuanya terlebih lagi; telinga Reno. Oh Tuhan!

"Udah ah, gara-gara Jino nih. Lagian ngapain juga kamu ikut coba?!"

Tuhkan, mulai lagi. Reno dan Jino ini memang musuh bebuyutan sekali.

"Udah ah debatnya, bentar lagi Haru berangkat loh," ucap Haru memecah ketegangan gila diantara mereka.

Akhirnya, Reno melupakan kekesalannya dan memeluk Haru, melepaskannya, menatapnya, kemudian memeluknya lagi, menangis sebentar, dan akhirnya memulai siraman rohaninya yang tak bisa Haru dengarkan dengan seksama dan hanya bisa ia tangkap bagian akhirnya, "Pokoknya kamu harus nurut apa kata Papa barusan."

Selamanya Bersamamu - Haru Jino StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang