19 - PART 3

18 4 0
                                    

Jin Hee mendekat dan akhirnya berdiri menempel pada ranjang sementara Ki Hang terus berteriak menyuruhnya untuk sembunyi. Dia menggenggam tangan keriput Ki Hang, dan teriakan itu terbenam pelan-pelan. Ki Hang menumpuk tangan Jin Hee dengan tangan keriput satunya lagi. “In Joo-ya,” panggilnya.

“Hm, Ki Hang-ah,” Jin Hee menjawab.

BUK, kepala Jin Hee dipukul Ki Hang. “Bodoh. Tidak sopan. Panggil aku ‘oppa’, aku lebih tua darimu, tau!” seru Ki Hang, lucu. Dia kembali ke masa pertemanan mereka, 85 tahun yang lalu.

Jin Hee geleng kepala, seperti yang biasa dirinya lakukan di masa lalu. Dia menahan diri agar air matanya tidak jatuh. Dia bertanya, “Ki Hang-ah, apa kabar?”

“Kau berhasil lolos darinya? Monster itu tidak jadi memakanmu? Wah, kau jadi cantik sekarang.” Jawaban Ki Hang tak sesuai dengan pertanyaan Jin Hee. Dia berada di masa lalu.

Jin Hee menjawabnya, “Ya, aku berhasil lolos darinya. Berkat kau. Terima kasih, Ki Hang-ah, dan ... maaf.” Jin Hee hampir tak bisa bernapas karena haru. Dia benar-benar berterima kasih pada Ki Hang atas bantuan besar yang diterimanya pada masa lalu dan karena masih bertahan hidup sampai sekarang hingga mereka bisa bertemu lagi seperti ini. Dia juga meminta maaf padanya, atas luka yang harus Ki Hang derita pada masa itu dan karena meninggalkannya sendirian sampai se-lama ini. Jin Hee ingin sekali menebus semua itu.

“Jangan menangis,” Ki Hang menghapus air mata Jin Hee. “Kau sudah selamat. Monster itu sudah pergi. Aku di sini. Kau tidak akan bertemu dengannya lagi.”

Dengan sangat sesak, Jin Hee mengangguk-angguk dan menangkap lengan yang menghapus air matanya itu. Tangan ini rasanya masih tetap hangat seperti 85 tahun yang lalu, tapi ... telah begitu menua. Ki Hang-ah, kenapa kau menua secepat ini?

Dan, “Uhuk!” Ki Hang terbatuk.

“Ki Hang-ah, kau baik-baik saja?” Jin Hee cemas.

Ki Hang bercerita, “Ya, tapi punggungku sakit, lututku berderik, kakiku pegal, kepalaku pusing dan rasanya seakan mau terbang. Mataku juga terus saja mengantuk. Aku kenapa ya, In Joo-ya?”

Jin Hee tersipu mendengar itu. Dia bukan sedang senang atau menertawakan Ki Hang, tapi menurutnya ucapan Ki Hang barusan itu manis sekali. Itu adalah keluhan manusia tua yang dipelajarinya dalam pelajaran tentang manusia di bintang sana. Mendengarnya langsung dari Ki Hang, rasanya lucu sekali.

Dan baiklah, Jin Hee akan menghilangkan segala keluhan itu. Tangannya harus terlepas dulu dari genggaman, barulah dia bisa menyentuh bagian yang akan disembuhkan. Karena ada banyak bagian yang harus dia sembuhkan, Jin Hee menyentuhkan tangannya ke kepala Ki Hang. Otak adalah pusat dari tubuh, dan di sana pulalah pusat dari segala rasa sakit dan kesembuhannya. Jin Hee terpejam sambil memegangi kepala Ki Hang, dan ... dirinya seolah terbang ke masa lalu.

Saat itu, 85 tahun yang lalu, dirinya ditempatkan di dalam sebuah lemari. In Joo ketakutan, gemetar, menangis, memanggil-manggil ibunya, ayahnya, ibunya, dan Ki Hang. “Eomma, Eomma, selamatkan aku. Appa, tolong aku. Eomma, aku takut. Ki Hang-ah ...” rengeknya.

‘In Joo?’ suara Ki Hang terdengar di kepala kecilnya.

“Ki Hang-ah? Ki Hang-ah, tolong aku. Ki Hang-ah!”

Lalu setelah beberapa petunjuk yang In Joo berikan pada Ki Hang lewat telepati yang tidak disadarinya, dia berhasil Ki Hang selamatkan. Dua anak itu berlarian di dalam hutan dengan saling berpegangan tangan.

Merasa sudah cukup jauh dari lokasi penyanderaan, mereka berjongkok di balik sebuah pohon yang amat besar. Mereka sangat terengah-engah, In Joo ketakutan, dan Ki Hang tetap waspada terhadap sekitar.

“In Joo-ya, kau bisa berlari lebih jauh lagi? Kalau masih di dalam hutan, kita akan lebih mudah tertangkap.” Ki Hang bicara sebaik yang dia bisa, di antara napasnya yang masih tersengal.

In Joo geleng kepala. Dia SANGAT ketakutan.

Ki Hang harus mencari cara. “In Joo-ya, tidak apa-apa, aku di sini, hm? Kalau monster itu datang, sembunyilah di belakangku, ya? Aku akan melindungimu. Tenang saja.”

In Joo mengangguk patuh, tapi ...

... begitu mereka mulai melangkah lagi, Leon muncul dari balik pohon. Ki Hang segera menarik In Joo ke belakang tubuhnya. Dengan ketakutan, dia berdiri melotot pada Leon.

Leon—yang masih ditutupi oleh sisik-sisik hitam—bertepuk tangan dengan seramnya. “Wah, alien kecil yang satu ini hebat juga, bisa bertelepati dengan manusia yang berjarak sangat jauh hingga memanggilnya ke sini. Kenapa tidak sekalian berteleportasi saja? Itu lebih praktis, bukan?”

Ki Hang menoleh bolak-balik antara In Joo dan Leon. Tak ada waktu untuk berbingung-bingung, benaknya. Yang terpenting sekarang adalah menjauhkan In Joo dari monster itu.

Leon menyodorkan tangan kerasnya pada In Joo. Katanya, “Percuma saja kau lari dariku, tanpa berteleportasi, kau tidak akan menang melawan kecepatan gerakku. Ayo kembali?”

In Joo semakin beringsut di belakang Ki Hang.

“Kau ingin aku melukai temanmu ini, hah? AKU BISA MEMBUNUHNYA,” dan Leon mengibaskan lengan kerasnya, menyabetkan kuku-kuku tebal nan tajamnya ke arah Ki Hang, dan Ki Hang terjatuh melemas di hadapan In Joo dengan punggung bersimbah darah. Ya, dia memeluk In Joo kuat-kuat saat sabetan itu terjadi.
In Joo berpegang sangat kuat pada Ki Hang.

“Kau lihat?” kata Leon, “Satu sabetan lagi, dia akan terbunuh. Jadi, ikutlah denganku.”

In Joo berada dalam kebingungan yang luar biasa. Tangannya berpegang kuat pada Ki Hang, ingin tetap bersamanya dan lari dari Leon, tapi dia tidak mau membuat dirinya juga Ki Hang berada dalam bahaya.

Ki Hang bicara, dengan susah payah, “Tidak. Kau JANGAN ikut dengan monster itu. Pergilah. Larilah. Menjauhlah. Aku akan di sini memegangi kakinya. Percayalah padaku.”

“Manusia bodoh dan payah,” umpat Leon. “Kau tidak akan bisa menahanku, kau—”

In Joo menguatkan pegangannya pada Ki Hang. Matanya menatap kuat pada Leon, dan dia menghilang dari hadapannya.

“Ke mana mereka? KE MANA?! Aih, sial. Dia berteleportasi!” Leon marah besar.

In Joo dan Ki Hang mendarat di bangku kayu depan rumah Ki Hang. Kemunculan mereka langsung diserbu oleh ayah dan ibu In Joo dan ayah Ki Hang. Pakaian Ki Hang penuh darah, tapi tak ada luka di punggungnya. In Joo sudah menyembuhkannya. Dan kedua anak itu terlelap dalam lelah.

Jin Hee membuka mata. Dia telah melakukan yang terbaik untuk segala keluhan Ki Hang tadi, dan Ki Hang juga membuka matanya lalu tersenyum pada Jin Hee. Dia telah kembali dari masa lalu dan berada dalam kesadaran penuh. Dia bicara, “In Joo-ya? Benarkah kau itu In Joo?” sambil mengamati mata biru Jin Hee.

Jin Hee mengangguk. “Ya, aku In Joo,” jawabnya.

“Benarkah?” Ki Hang tak percaya, “Tapi kenapa—kenapa—”

“Aku kan bukan manusia,” Jin Hee mengingatkan, dan “Oh,” Ki Hang mengingat fakta itu. Setelah hari itu, dia tahu bahwa In Joo adalah keturunan dari seorang alien dan bisa bertelepati, berteleportasi, dan lainnya. Cara bermain mereka pun jadi lebih unik dan menyenangkan dari biasanya. Dan kini Ki Hang senang bisa bertemu dengan In Joo lagi.

“Kau sudah merasa lebih baik?” tanya Jin Hee, ceria.

Dan BUK, Jin Hee mendapat pukulan di kepala. “Bodoh. Tidak sopan. Mulai sekarang, panggil aku ‘harabeoji’, atau semua orang akan mencacimu. Mengerti?”

Jin Hee pun tersipu, kali ini karena senang.

LOVE IN THE EARTHOn viuen les histories. Descobreix ara