20 - MASING-MASING

21 4 0
                                    

Jin menarik-narik Joon memasuki kamar rawat kakek buyut mereka, dan mereka merasakan hal yang berbeda darinya. Sepertinya Ki Hang tidak lagi pikun. Keduanya terbengong di dekat pintu.

“Kalian berdua sedang apa di situ? Ayo ke sini!” ucap Ki Hang, bersemangat meski suaranya bergetar karena tua. Dia berkata, “Beri salam. Ini teman—eh, cucunya temanku.” dan memperkenalkan Jin Hee pada kedua cicitnya yang baru datang itu.

Mata dan kepala Joon berputar kesal. Sambil mengetuk-ngetuk lantai dengan sepatu, dia bergumam, “Yang membawanya ke sini itu aku lho, Harabeoji.”

Jin terkekeh.

Jin Hee menahan tawa.

“Oh?!” Ki Hang tercengang. “Kalian berdua saling kenal? Kalau begitu, artinya—”

“Ya,” Jin Hee mengangguk. Dia memberi tahu bahwa Joon mengetahui identitas dirinya yang bukan manusia, pada Ki Hang, lewat anggukan itu.

Ki Hang bertepuk tangan sambil bengong.

Jin melompat ke ranjang kakek buyutnya. Dia bercerita, “Harabeoji, noona ini adalah pacarnya hyung. Iya, kan, Hyung?”

Entahlah, Joon harus berkata apa.

Ki Hang tertawa karenanya. Bagaimana mungkin seseorang yang adalah temannya menjadi pacar cicitnya? LUAR BIASA. Dan dia terbatuk karena tawa itu.

“Aduh, Harabeoji, tertawanya biasa saja,” Joon segera membawakan minum dan menepuk-nepuk punggung kakek buyutnya dengan lembut.

Jin Hee senang melihatnya.

Setelah Ki Hang selesai minum, Jin berkomentar, “Ngomong-ngomong, sekarang Harabeoji sudah sembuh ya? Padahal tadi Harabeoji memanggil Hyung dengan sebutan ‘hyung’.” Jin manyun-manyun, menertawakan kakek buyutnya.

Giliran Ki Hang yang membuang pandang. Dia malu ketuaannya dipergoki temannya yang masih ‘muda’. Lalu dengan tergagap, dia beralasan, “I-itu karena aku sedang mengajarimu, Nak. Panggil kakakmu ini ‘hyung’, begitu.”

“Ya, baiklah, Harabeoji,” Jin pura-pura mendengarkan ucapan kakek buyutnya. Diam-diam, dia dan Joon terkikik di balik telapak tangan—tepat di depan kakek buyut mereka. Karena itu, Ki Hang memukuli kepala mereka secara bergiliran.

Begitulah, dan kemudian ayah Joon datang bersama ibu dan adik perempuan Joon dan Ki Hang memperkenalkan Jin Hee pada mereka sebagai cucu dari teman lamanya.

Ki Hang sangat bersemangat dan sehat. Itu membuat seluruh anggota keluarga terkejut, senang, dan haru. Ibu Joon meminta maaf, kepada kakek mertuanya, karena telah mengatakan tentang kematian dan hal lainnya.  Dan dokter, yang berkunjung untuk melakukan pemeriksaan, juga terkejut atas keadaan Ki Hang yang begitu sehat padahal biasanya proses pemulihan lansia akan selalu lambat. Katanya, Ki Hang boleh pulang dua atau tiga hari lagi setelah keluarnya hasil pemeriksaan menyeluruh yang menyatakan dirinya benar-benar sehat.

Dengan begitu, ayah Joon mendesak Joon untuk pergi mengantar Jin Hee pulang. Mereka pun—Joon dan Jin Hee—permisi pulang, tentu saja tanpa memberi tahu ke mana Joon mengantar Jin Hee.

Hingga belokan ke-dua, Joon dan Jin Hee tetap saling berdiam diri. Ada jarak sekitar hampir satu meter di antara mereka dan sering kali orang lain melintas di dalamnya, seolah mereka tidak sedang berjalan bersama. Lalu ... “Ehem,” Joon mendehem.

Jin Hee melirik sebentar ke arah Joon.

“Ngomong-ngomong, yang menyembuhkan kakek buyutku itu kau ya?” kata Joon, canggung. Dia tidak mengharapkan jawaban dari Jin Hee. Dia segera bicara lagi, katanya, “Aku benar, kan? Kakek buyutku itu memang teman lamamu. Aku tidak salah. Iya, kan? Yah, karena aku ini memang pintar.” Joon menaruh dagunya di antara jempol dan telunjuk dengan penuh gaya. Dia berbangga pada dirinya sendiri.

LOVE IN THE EARTHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang