15 - PART 4

19 3 0
                                    

Saat matahari mulai tergelincir, Joon terbangun dari tidur nyenyaknya. Dia puas sekali dengan tidurnya kali ini. Sudah lama dia tidak tidur senyenyak ini. Joon terbangun, menggeliat, duduk dan memutar kedua pundaknya, memanjangkan leher, dan bangkit menuju kamar mandi untuk mencuci muka.

Sebelum menyentuh pintu kamar mandi, sesuatu di atas meja Jung Shin menarik perhatiannya. Dia mampir di meja itu, dan, “Kalau tidak salah, tadi itu Jin Hee belajar menulis,” gumamnya, karena ada tulisan di masing-masing sketsa yang sebelumnya dibuat Jin Hee.

Joon membaca satu per satu tulisan yang tidak cukup cantik itu, “Namaqus Leon. Woh, dia bisa menulis nama asing dalam hangul,” pujinya, lalu dia melanjutkan membaca, “Kim Il Man, teman ayah. Ayah, Kwon In Bae. Ibu, Seo Yeon Joo. Laboratorium. Lemari kultur. Bangku kayu milik In Joo dan Ki Hang. Eh? Apa ini? Kedengarannya seperti kisah cinta masa lalu.”

Meski agak kesal, Joon tetap melanjutkan membaca, “Rumah Ki Hang. Aku di masa lalu, Kwon In Joo.” Joon berhenti sebentar pada gambar itu: seorang anak dengan rok panjang berlengan pendek dan sesuatu yang menutupi kepalanya dengan ketat. Joon tahu, itu pasti adalah tudung untuk menutupi rambutnya yang pirang. Dan, ah, saat itu Jin Hee pasti sering menunduk untuk menyembunyikan mata birunya. Rasanya pasti melelahkan dan sedih sekali, dan mungkin diskriminasi di masa lalu lebih menyeramkan dari yang pernah Joon saksikan. Joon segera menghapus ingatan tentang diskriminasi yang menyeramkan itu.

Dia melihat-lihat sketsa bertulisan itu lagi dan menemukan pohon besar, jalan menuju laboratorium—yang hanya terlihat seperti hutan, ibunya Ki Hang, kakak laki-lakinya Ki Hang, paman dan bibinya Ki Hang, sepupu Ki Hang ... “Ki Hang itu siapa sih?” gumam Joon, dan panas yang tadinya sudah mereda sepertinya kembali lagi. Joon menyudahi rasa penasarannya dan melanjutkan niatannya untuk mencuci muka di kamar mandi.

Dan bertepatan dengan keluarnya Joon dari kamar mandi, Jin Hee memasuki kamar kos. Joon langsung menginterogasi, “Kau dari mana? Kenapa keluar sendirian? Bagaimana kalau terjadi apa-apa padamu?”

Jin Hee menarik kursi dari meja belajar Joon dan mendudukinya. “Kau sudah sembuh? Syukurlah,” Jin Hee benar-benar lega.

“Kau itu dari mana?” tanya Joon lagi, lalu duduk di ujung ranjang Jung Shin.

“Dari seberang,” kata Jin Hee. Dia menjelaskan, “Tadi Seol Ah datang dan katanya ingin bicara denganku.”

Joon berpikir, “Seol Ah? Ingin bicara denganmu? Bicara apa? Bukankah seharusnya dia itu mencariku ya?” Joon bukan sedang rindu dikejar-kejar Seol Ah, tapi—dia langsung terpikir sesuatu, “KAU benar-benar akan bertemu dengan or—alien itu?”

Jin Hee mengangguk santai.

“Kenapa? Untuk apa? Kau benar-benar tertarik padanya? Tidak, kan?” Joon benar-benar ngotot saat mencerocoskan semua kalimat tanya itu.

Jin Hee merogoh tas kertas yang luput dari perhatian Joon. Dia mengeluarkan sebuah kotak makan berisi bubur hangat. Sambil menyeret Joon menuju kursi yang ditinggalkannya, Jin Hee bercerewet, “Kau itu baru saja sembuh dari sakit. Makan dan pulihkan tenagamu dulu, baru setelah itu kau boleh menceramahiku. Oke?” dan Jin Hee menyelipkan sendok ke jari-jari Joon.

Joon memandangi bubur yang padat itu dengan haru, lalu mendongak pada Jin Hee yang tersenyum dengan begitu teduhnya. “Ini ... untukku?” tanya Joon, terkagum-kagum.

Tentu saja Jin Hee mengiyakan.

Sendok yang menyelip itu berkelontang di atas meja dan kursi Joon melonjak mundur karena kaget ditinggal berdiri oleh pemiliknya. Joon refleks memeluk Jin Hee erat-erat sambil bercecar, “Terima kasih. TERIMA KASIH SEKALI. Memang inilah yang dibutuhkan olehku saat ini. Terima kasih, Jin Hee-ya. Terima kasih.”

LOVE IN THE EARTHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang