06 - PART 2

23 3 0
                                    

'Kim Joon,' L2 menyebut dan menyebut lagi nama itu. Dia akan mengingatnya, mungkin selamanya, sebagai manusia pertama yang dia kenal di Bumi ini.

L2 memandang langit di balkon sempit indekos Joon. Kali ini Joon tidak menguncinya. Dia merasa bersalah akibat perbuatan tak disengaja-nya itu. Kalau dipikir-pikir, itu lucu juga. Padahal L2 bisa saja berteleportasi kalau memang ingin keluar kamar kos. L2 tersenyum geli.

Dia kembali menoleh pada langit. Ada banyak bintang di sana, dan salah satunya adalah tempatnya berasal, Pleiades. L2 tak merindukan tempat asalnya itu. Sebaliknya, dia menyesal tak datang ke Bumi sejak lama.

Di sini dia bisa menikmati cahaya matahari, mendengar berbagai suara, menghirup udara yang ringan, dan ... kimbab segitiga rasanya enak juga, pikir L2. Dia menyukai banyak hal di Bumi yang baru dipijaknya tak lebih dari 48 jam ini, termasuk Joon dan namanya. L2 tak menyalahkan kapsul terbangnya, yang menentukan koordinat tujuan seenaknya, malah dia merasa SANGAT puas. L2 tersenyum pada bintang-bintang dan para penghuninya yang hanya mengenal Bumi lewat teori. Dia bukan merendahkan mereka, tapi hanya merasa sedikit lebih berpengalaman daripada mereka.

Lalu dia mengenali gelombang kedatangan Joon. L2 menoleh ke arah bawah, memergoki Joon yang sedang menengadah, dengan seram, ke arah dirinya.

Joon menaiki tangga.

Joon berucap, "Kau ..." tapi ucapannya terputus sampai di sana. Dia mengintip bagian belakang L2, lalu menoleh pada bulan bulat yang mulai pudar. Tidak ada satu pun ekor yang muncul, artinya dia benar-benar bukan gumiho, pikir Joon. Joon masih ingin membuktikan kemungkinan lain-tentang jati diri L2, selain alien.

'Apa?' tanya L2.

Joon tetap tak bicara.

'Semalaman ini kau mikirin aku ya?' L2 bukan sedang menggombal, tapi serius. Dia bisa merasakan segala hal yang ditujukan Joon pada dirinya, seolah Joon bertelepati padanya.

Joon bertanya, "Kau tidak tidur?"

L2 menggeleng.

"Tidak mengantuk? Tidak lelah? Kau kan juga manusia." Itulah tujuan dari pertanyaan Joon: membuat L2 mengakui jati dirinya.

L2 menjawab, 'Tidak. Bisa dibilang, ini adalah malam pertamaku di Bumi. Aku ingin melihat keadaan galaksi dari sini.'

"Kau di luar semalaman?! Di sini?!" Joon tak percaya.

L2 mengangguk dengan cerahnya. Katanya, 'Aku ingin melihat matahari terbit. Sebentar lagi, kan?'

Joon menoleh ke langit. Bulan sudah semakin pudar. Lalu dia berceramah, "Ya, tapi kau tidak perlu menunggunya semalaman di luar begini. Kau tidak kedinginan?" Joon memperhatikan pakaian L2-yang meski pada siang hari kelihatannya membuat gerah, tapi tetap saja pakaian itu tipis.

'Dingin? Tidak,' kata L2. Dia menjelaskan, 'Pakaian ini didesain untuk bertahan pada suhu ekstrem sekalipun. Jadi, aku tidak kedinginan.'

"Jangan bercanda. Mana ada pakaian seperti itu?" kata Joon.

L2 memperhatikan pakaian Joon: celana jeans, kaus, dan jaket tipis. L2 menyimpulkan, 'Kau kedinginan?'

"Yah, tidak juga sih, tapi-"

BUK. Tiba-tiba L2 memeluk Joon erat-erat. Dagunya bertengger-pas sekali-di pundak Joon, dan kedua tangannya menyekap semua anggota gerak tubuh Joon. Joon tak bisa bergerak sedikit pun dan pipinya memerah panas.

"He-he-heh, kau ini apa-apaan? Lepaskan," kata Joon, gugup.

'Bagaimana? Hangat, kan? Sekarang kau percaya, kan?' L2 terus memeluk Joon.

"Ho-ho-hooh, hangat. Sudah ah." Joon melepaskan pelukan itu dengan mudah, tak ada perlawanan atau pun pertahanan dari L2.

L2 bicara, 'Tapi ... jantungmu berdetak cepat sekali. Dan pipimu kenapa? Kau ...'

"Ja-jangan diteruskan! Aku baik-baik saja." Joon langsung membungkam L2 dengan bentakan dan mata melototnya.

'Baiklah,' lalu L2 melangkahkan kaki hingga pahanya menempel di pagar balkon dan matanya kembali mengarah pada langit. Dia akan menyambut kedatangan cahaya matahari.

Joon bicara, dengan gugup, "Kau ... rumahmu-maksudku, tempat tinggalmu, asalmu, benar-benar dari bintang?" tanyanya.

L2 langsung mengiyakan.

Joon berdiri persis di samping kanan L2, mendongak ke langit-mencari tempat L2 berasal. "Mana? Bintang yang mana? Apa dari sini kelihatan?" tanyanya, bertubi-tubi.

'Tidak. Matahari jauh lebih dekat dengan Bumi daripada bintang tempatku berasal. Tak akan kelihatan. Dan tadi malam pun sebenarnya tidak kelihatan. Mungkin belum saatnya.' L2 agak kecewa tentang itu, dia tak bisa menunjukan tempat asalnya pada Joon.

"Oh begitu?" Joon menganggap L2 gila. Lalu tiba-tiba dia menodongkan jari di ujung lengannya yang cukup panjang dan berkata, "Apa tujuanmu datang ke Bumi? Kau mau apa?"

L2 tersipu lucu. Dia tahu kebanyakan manusia menganggap alien adalah musuh yang ingin menguasai Bumi tempat tinggal mereka. Itu tidak sepenuhnya salah, tapi kali ini Joon salah.

Telunjuk dan jempol Joon yang menghunus digenggam oleh L2. Dia akan menjawab pertanyaan Joon, 'Aku ... ingin tinggal di sini, menetap di sini, selamanya. Itu tujuanku. Boleh, kan, Manusia?'

Sontak, Joon terduduk dan menyeret dirinya mundur dengan kedua tangan dan kakinya sementara pandangan matanya tertuju pada mata biru L2. Berarti benar, dia adalah ... dia adalah ... adalah ...

'Kim Joon,' panggil L2, 'aku boleh tinggal di sini, kan?' tanyanya, manis, dengan senyum dan punggung melengkung ke arah Joon.

Mata birunya, percikan-percikan lebih biru dalam mata biru itu ... bagai galaksi yang bersinar, semesta yang amat sangat cantik, dan, "Hoh, kau boleh tinggal di sini," ucap Joon.
BRURUK. L2 mendarat memeluk Joon. Kali ini pipinya menempel di dada Joon yang dilapisi kaus tipis dan kedua tangannya melingkari pinggang keras Joon. Dia amat berterima kasih pada Joon. Dia mengatakan itu berkali-kali, 'Terima kasih. Terima kasih. Terima kasih.'

Sedangkan Joon? Dia benar-benar tidak bisa bergerak. Rasanya dia akan mati kaget. Betapa gila dan bodohnya dirinya, gumam Joon dalam benak.

LOVE IN THE EARTHWhere stories live. Discover now