10 | Datang bulan

366 114 441
                                    

Nilam termenung, apa yang harus ia lakukan? Bagaimana membuat Galen menyukai Alesha?

Ia membanting buku paket tebalnya membuat teman sebangkunya itu terlonjak kaget. Nilam hanya menyengir, dan meringis. Seolah-olah ia pun merasakan apa yang gadis itu rasakan.

"Maaf." Setelah memberikan ucapan maaf ia langsung pergi keluar.

Sebelum keluar ia melirik sebentar ke arah Fael, dan lelaki itu benar-benar membuat Nilam kesal kembali.

Sebenarnya Fael itu niat sekolah tidak sih? Kerjaan lelaki itu hanyalah bolos, tidur dan bermain basket saja, tidak mau belajar.

Ketika berbalik, ia terpekik kaget melihat seseorang yang wajahnya mirip dengan Fael.

Ia berdecak sebal. "Lo sama Abang lo gak ada bedanya! Kerjaannya selalu aja ngagetin orang!" cerocosnya langsung beranjak pergi.

Ia sedikit bingung, mengapa Farel datang ke gedung jurusan IPS?

Iya, jangan heran mengapa Nilam sangatlah bingung. Karena gedung jurusan IPS dan IPA itu terpisah.

Satu gedung dengan tiga lantai, satu lantai untuk kelas 10, lantai dua untuk kelas 11 dan lantai ketiga untuk kelas 12 dan itu berlaku untuk gedung jurusan A/S (IPA/IPS)

Maka dari itu jangan heran banyak sekali yang berpendapat, jika anak jurusan IPA ke gedung IPS akan dibilang anak baru begitupun sebaliknya. Seperti Galen, ia awalnya dianggap anak baru padahal hanya pindahan dari jurusan IPA ke IPS.

Dan kedua gedung itu memiliki kantin masing-masing. UKS masing-masing, intinya semua itu layaknya seperti dua sekolah dalam satu lingkungan.

Nilam membelokkan arah masuk ke dalam kelas Alesha. Seluruh mata berpusat kepada dirinya, begitupun lelaki yang telinganya terpasang headset sedang duduk di pojok kelas.

Nilam yang ragu-ragu tidak bisa berpikir dua kali, setelah lama ia berdiam diri. Ia melangkah masuk dengan langkah cepat.

Entah mengapa masuk ke dalam kelas orang lain rasanya begitu berbeda, begitu canggung, apalagi seluruh penghuninya yang sama sekali tidak dikenal.

Setelah sampai di meja Alesha, gadis itu hanya tersenyum mendapati wajah Nilam berada di depannya. Tanpa pikir panjang ia menarik pergelangan Alesha ke luar kelas.

"Gue gak tau, apa yang harus gue lakukan, Sha!" Nilam berbisik dengan suara tegas.

Alesha memutar bola mata malas. "Masa lo gak tau, sih!"

Alih-alih menjawab, Alesha malahkan mengomelinya. Nilam berdecak sebal, seraya menjambak pelan rambut panjang Alesha.

"Yaudah gue gak mau!"

"Gini aja deh, lo minta nomor ponsel dia, atau Line, atau Instagram, atau Facebook atau—"

"Semuanya aja sekalian, Nyet!" hardik Nilam memandang nanar Alesha yang sedang mencibir, mungkin merasa tidak suka jika ucapannya dipotong.

"Lo kayaknya gak ikhlas banget, deh! Yaudahlah gak usah. Gak jadi, lupakan aja!"

"Gak usah nih? Syukur deh. Gue mau balik ke kelas dulu." Nilam beranjak, ia berhenti melangkah ketika merasakan ada yang memegangi lenganya.

"Jangan gitu dong, Lam. Bantuin gue," rengeknya sambil memasang wajah memelas.

"Yaudah iya deh. Ribet banget sih! Oke, nanti gue mintain nomor ponsel dia, setelah ini gue gak mau lagi."

"Nah gitu dong! Ini baru gue suka."

***

Nilam melangkah pelan-pelan berusaha untuk tidak menciptakan suara bising dari ketukan sepatunya. Ia tersenyum ketika melihat orang yang ia ikuti tidak menyadari keberadaanya.

Kilter ManTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang