Nyokap adalah pemikir kelas berat, segala sesuatu dipikirkan dengan berlebihan karena rasa cintanya yang teramat besar bagi kami anak-anaknya.

Jadi ya gitu, kalau ada yang mengganjal soal Fe, pasti nyokap curhat ke gue atau abang gue, kalau masalahnya di gue ya nyokap curhatnya sama Fe dan abang, nah kalau masalahnya ada di abang ya yang jadi tempat curhat gue dan Fe atau kalau masalahnya di bokap, udah pasti kami anak-anaknya yang jadi tempat curhat.

"Iya sih." Gue nyengir sekali lagi. "Itu Ferdinand, temen, baru kenal juga. Lagian gue susah buat memulai hubungan lagi kayanya Fe."

"Lo jangan kaya temen gue ya si Sarah, dia akhirnya nggak married sampai umur empat puluh tahun gara-gara pernah di tinggal kawin sama mantannya."

"Kalau gue . . ." Gue menarik nafas dalam. "Mungkin akan lebih hati-hati aja kedepannya, gue nggak tahu sampai kapan sih, nggak ada target."

"Kalau saran gue sih, Ferdinand itu kandidat kuat, jadi apa salahnya lo coba jalanin dulu sama dia."

"Terus one day kami gagal, gue harus makan ati lagi dong."

"Ya kalau lo nggak nyoba lo nggak bakal tahu lo bakalan berhasil atau gagal." Paksanya.

"Fe, lo kan kakak gue. Gue tahu banget maksud baik lo, tapi untuk saat ini, ibarat luka, gue masih berdarah-darah, dan gue belum berani buat ambil sepeda gue dan bersepeda lagi. Gue butuh sembuh dulu paling enggak." Gue mengumpamakan keadaan gue saat ini.

Edwin pernah menjadi yang sangat dalam buat gue, lima tahun membina hubungan sama dia itu juga nggak mudah dan sekarang harus berakhir begitu aja di tambah bonusnya Ed memilih menikah dengan isterinya sekarang dan gue menjadi pecundang, sudah cukup rasanya.

"Gue kepikiran untuk resign sih." Imbuh gue.

"Nggak papa sih, gue setuju aja, coba ntar lo tanya sama bang Rey, ada lowongan nggak di kantornya."

"Baiknya lo segera ngomong sih ke bos baru lo, lagian kalau lo terpaksa jobless kan bokap sama nyokap masih bisa nanggung hidup lo."

"Sialan, gue masih bisa berdiri sendiri kali."

Dan kami tertawa, mentertawakan nasib gue sendiri itu semacam healing process.

"Fe, gue malah kepikiran buat nempatin apartmen gue."

"Lah, ntar kalau gue lahiran pindah ke rumah baru, terus lo di apartment, bang Rey lebih sering keluar kota dari pada di Jakarta, terus bokap sama nyokap?"

"Semua orang tua tidak akan pernah senang anaknya jauh dari mereka, tapi sejak kita mulai bisa berjalan, gue rasa nyokap sama bokap sadar, bahwa langkah kita akan semakin jauh dari mereka, tapi kita juga pasti akan selalu tahu kemana jalan pulang."

Fe tampak menarik nafas dalam. "Iya sih. Pilihan untuk mengikuti kemauan Willy bikin rumah dan pindah ninggalin nyokap sama bokap juga berat awalnya. Tapi sekarang ini, Willy adalah suami gue, semua yang jadi keputusannya harus gue ikuti sebagai isteri."

"Dan bokap sama nyokap selalu mendukung keputusan lo dan Willy." Imbuh gue.

"Ya udah, kalau itu nyaman buat lo, tinggal di apartment sendiri, gue akan bantu obrolin sama nyokap."

"Thanks Fe."

"Sesering apapun kita berantem dan cekcok soal pengharum ruangan harus wangi apa, tapi lo tetep adek kesayangan gue. Dan setiap kali lo terluka, gue juga merasakan sakitnya."

"Sumpah, gue jadi beneran pengen nangis kalau begini."

Dan lagi-lagi kami tertawa, meski diantara tawa kami saat ini ada genangan air mata yang tak sempat jatuh di pelupuk mata kami masing-masing.

That's what we call sisterhood.

Kalau deket berantem, tapi kalau jauh kagen. Kalau deket rebut, tapi kalau jauh nanyain satu dengan yang lain.

Dan kami termasuk bukan kakak beradik yang selalu akur, malahan kami juga banyak ributnya, tapi ya itu, Fe selalu menyayangi gue dengan mulut pedasnya, yang kalau komentar suka nyablak dan asal.

Gue juga selalu menyayanginya dengan tetap menyimpan kekesalan setiap kali dia habis nyletuk seenak perutnya sendiri. Ya begitulah saudara, kita mencintai karena kita memahami satu sama lain, jadi apapun dan bagaimanapun, tetap ada cara untuk saling mengasihi.

Kami menghabiskan makan malam kami yang sebearnya by accident, karena di list Fe, setelah belanja Willy akan jemput kami, tapi karena Willy harus balik agak malam dan kami sudah kelaperan akhirnya kami makan. Dan saat ini kami berada di dalam taksi menuju rumah ketika ponsel gue tiba-tiba bergetar.

"Halo." Gue membuka suara.

"Saya barusan kirim kamu barcode tiket untuk pergi ke Bali besok pagi." Suara bos gue terdengar dari seberang.

"Lho kok bapak ngurus sendiri, kan bisa minta saya urus."

"Cuman masalah kecil, bisa saya handle, lagian kamu lagi ngerjain banyak banget kerjaan beberapa hari terakhir." Katanya.

What a sweet boss, doi booking tiket pesawat buat gue PA nya?

"Thank you by the way."

"Ok, don't be late. Atau kalau kamu perlu tumpangan ke bandara kita bisa berangkat bareng."

"Oh nggak usah pak, besok saya naik taksi saja."

"Ok. See you tomorrow."

"See you."

Fenita sudah menunggu dengan wajah nggak sabra pengen nanya.

"Bos lo?"

"Iya."

"Doi issued tiket ke Bali buat lo?"

"Yep." Angguk gue.

"Gila, pantes lo betah kerja di situ walaupun ada mantan lo juga di situ."

"Apaan sih. Late or soon gue bakalan resign kok, cuman ini lagi ada acara di bali buat tanggal duapuluh sembilan sampai tigapuluh, setelah itu mungkin baru gue ngomong ke boss."

"Itu bukannya tinggal minggu depan?"

"Iya mangkanya kami ke sana besok untuk memastikan semua persiapan."

"Jadi bolak balik ke bali bareng bos besar nih?"

"Iye kakak gue yang paling cerewet."

"Kenapa nggak kepikiran buat gebet bos lo aja?"

"Gilak lo, dia udah punya bini kali, or pacar lah at least, lo kira ada ya cowo tajir, kerjaan OK, ganteng maksimal masih nganggur hari gini? Sold out keles."

"Cowo kaya gitu kalau masih nganggur pilihannya cuman dua, doi nggak normal atau nggak doyan pere."

Dan kami terkekeh Bersama, membahas laki-laki memang menjadi sangat seru ketika di lakukan dengan kakak perempuan yang hampir seumuran. Dan soal bos gue, nggak mungkin banget rasanya kalau model kaya dia luput dari pengamatan cewe-cewe. Mungkin kalau mau, bos gue nggak cuman berdiri di dua perahu seperti Edwin, dia berpindah perahu setiap hari juga bisa. Cewe mana yang nggak klepek-klepek melihat pesonanya.

Ah . . .

Entahlah.

Dear Reader

Jangan lupa vote dan komentar ya. Kritik dan saran yang membangun juga sangat author nantikan.

Thank you sudah mampir di sini.

Tunggu next chapter ya

My New Boss #Googleplaybook #JE Bosco PublisherWhere stories live. Discover now