Chapter - 34: Fakta Menyakitkan

4.2K 802 127
                                    

Sebelum baca budayakan kasih bintang dulu ☺

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sebelum baca budayakan kasih bintang dulu ☺

***

Chapter 34

***

💡Rea Dewasa💡


Benar-benar seharian penuh aku malas keluar kamar. Setidaknya untuk dua hari sejak kejadian itu. Aku marah entah pada siapa. Entah berapa lembar tisu yang sudah kusut berhambur di sisi tempat tidur. Berkali-kali aku mencoba telepon Nafis tapi tidak diangkat sama sekali.

Aku sukar menguraikan kekusutan persoalan ini. Rasanya ingin merutuk ketika bekas kecupannya masih bisa membuatku menyala. Aroma badannya terperangkap di dalam ingatanku. Wajahnya yang sangat berbeda begitu membayang. Tak mungkin jika ternyata diam-diam ada rindu yang susah payah kusangkal di dasar sana.

Ini sudah sangat lama. Rasanya memikirkan dia akan datang ke sini hanya untuk melakukan semua itu pun aku tak pernah. Mengharapkannya pun tidak. Tapi kenapa rasanya begitu sakit ketika dia pergi? Kenapa jiwaku seolah terdedel dari raga ketika tak sempat pun kugapai kepergiannya?

"Kau mau bunuh diri perlahan?" Mandy masuk ke kamarku dengan membawa sepiring makanan. Aku sedang terisak. "Makan ini. Setidaknya beberapa suap saja kalau kau masih begitu jengkel dengan sesuatu. Atau seseorang. Makanlah. Kau butuh tenaga lebih kalau ingin berlama-lama meratap. Dasar."

Aku ingin menangis keras-keras mendengar suaranya. Aku tidak marah pada Mandy, hanya saja aku butuh suara keibuan yang seperti itu. Hubunganku dan Mami tak berjalan baik. Terutama semenjak dia tahu aku dan Jullian begitu dekat. Meski ribuan kali aku meyakinkannya kalau Jullian tidak pernah menyentuhku secara berlebihan. Maksudku, kalian pasti tahu. Dia hanya menyentuh tangan, mencium tangan, dan pipiku saja. Tak pernah lebih jauh dari itu. Dia tahu cara memperlakukanku agar tidak sampai ketakutan. Mungkin pikirnya memperjuangkanku selama itu dan aku mau menerimanya itu sudah cukup, dari pada harus menanggung amarahku jika dia ingin meminta lebih.  Kujelaskan juga pada Mami, bahwa aku dan Jullian terpisah kamarnya. Tapi itu tidak berhasil. Dan berakhir pada aku dengan kebohonganku yang beranak pinak.

"Aku ingin membiarkanmu seperti ini lebih lama, tapi rasanya tanganku sudah gatal ingin menabok pantatmu. Dasar gadis ini. Kau kenapa?!"

Bisa kurasakan Mandy duduk di tempat tidurku. Lalu benar-benar menabok pelan. Aku bangkit dari tengkurap dengan rambut seperti ijuk, baju yang tak diganti, dan wajah yang tak berani kubawa ke depan cermin.

Lalu menangis seperti anak kecil ketika sudah duduk berhadapan dengan Mandy.

"Ya Tuhan," Mandy memutar bola mata. Kemudian dia menarikku ke pelukannya. Memberi tepukan geram di punggungku sebelum mengelus bagian tengkuk. "Apa yang membuatmu jadi terlihat seperti mayat hidup begini?"

Aku masih hanya merengek. Air mata hangatku mengalir lagi setelah kukira tak bisa keluar lagi.

"Aku benci diriku sendiri, Mandy."

THE CRITICAL MELODY [Sudah Dibukukan]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang