Chapter - 11: As Ballad As Your Smile

6.5K 921 48
                                    

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Sudah berapa lama ya nggak update? Huhuhu. Udah, lupakan. Yang penting kami kembali lagi. Selamat membaca ☺ Jangan malu kalau mau berkomentar dan jangan lupa kasih bintangmu ⭐

***

🎻Louisa 🎻

"Papa belum ngasih kabar, Ma?" Mama yang sedang menata menu di etalase rumah makan hanya membalas dengan garis senyum. Itu usaha rumah makan yang dikelola oleh Mama dan aku. Harusnya dia menggeleng, tapi dengan senyum itu pun aku tahu kabarnya belum sesuai harapan.

Lima tahun sudah Papa berangkat ke Brunei demi menebus hutang yang menggunung pada pihak bank. Sebenarnya Papa tidak perlu melakukan itu karena bukan sepenuhnya dia yang harus melunasi, menurutku. Itu karena kesalahan rekannya yang sama-sama pegawai bank. Dia membawa kabur Dana Bersama yang semestinya akan dilimpahkan untuk investasi. Karena Papa satu tim dengan orang itu, dan sesuai perjanjian apapun yang terjadi tanggung jawab akan dipikul bersama, akhirnya Papa pun dipecat dari bank dan mendapat tuntutan ganti rugi yang besar.

Dua tahun pertama di Brunei, Mama bilang hutangnya sudah lunas. Karena Mama pun mengorbankan pekerjaannya untuk ikut menambal hutang itu demi papa. Tapi aku tidak tahu kenapa sampai tahun kelima papa tidak juga pulang. Apa dia tidak merindukanku dan Mama?

Dan dua minggu ini dia belum menelepon. Aku rindu. Lima tahun tidak melihatnya dan hanya bersua bias suara terasa seperti tidak punya papa sama sekali. Tak ada artinya uang kiriman yang selalu masuk ke rekening Mama jika kehadiran Papa pun tak kunjung tiba.

"Besok hari pertama Lou masuk SMA, Ma."

"Mama akan bangun lebih pagi supaya bisa mengerjakan semuanya lebih awal. Kamu tidak perlu membantu Mama masak lagi ya, Nak?"

"Nggak apa-apa, lagian kalau berangkat pukul enam pagi masih bisa dapat bus ko."

"Ya sudah."

"Mama sudah mendingan sakitnya?"

"Udah, Alhamdulillah."

Warung makan ini cukup untuk dijadikan sumber penghasilan guna menghidupi kami berdua di samping kiriman dari Papa. Bahkan menu sarapan pasti ludes sebelum pukul sepuluh pagi. Dan selama waktu itu juga Mama biasanya sambil menyibukkan diri membuat menu makan siang. Terbayang bukan bagaimana dia melewati hari-hari ketika aku di sekolah? Karena belakangan aku punya waktu senggang libur setelah UN, makanya Mama banyak mendapat bantuan dariku.

Hari itu berjalan seperti biasa. Membantu di warung, les biola, dan ikut Mama belanja keperluan bahan baku. Kami tidak layak disebut keluarga kaya, tetapi miskin pun agaknya tidak bisa disandang oleh kami. Intinya kebutuhan kami berdua tercukupi. Rumah gedong yang kami huni terselamatkan dari risiko penyitaan, karena ayah memang menjamin itu pada kami bahwa rumah tak akan pernah kena dampak.

THE CRITICAL MELODY [Sudah Dibukukan]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang