Chapter - 21: Genting

5.7K 817 94
                                    

🎻Louisa🎻

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🎻Louisa🎻

***
⚠⚠⚠
***

Yang aku takutkan dari hidup adalah ketika banyak hal sesekali harus terjadi secara tanpa terduga, termasuk berita buruk. Ini hanya beberapa menit setelah aku dan Pian berpisah dengan Nafis sekeluarga. Ponselku berdering dan suara kepanikan Mama membanjiri telinga. Alex mengejang dan kembali tak sadarkan diri. Itu yang membuatku menepuk-nepuk pundak Pian penuh gusar.

Tanpa perlu harus memohon, Pian dengan sigap mempercepat motornya menuju rute tersingkat ke rumah sakit.

"Please, please, please!" aku bergumam seperti itu sepanjang jalan. Tanganku gemetar mengetik pesan ke Mama. Aku sekuat apa menahan agar tidak sampai menangis di belakang Pian.

Yang dilakukan Pian hanya mengebutkan motornya tanpa banyak berkata. Mungkin dia tidak tahu pasti situasinya seperti apa karena yang kulakukan sedari tadi hanyalah meminta agar dia ngebut, dan itu saja.

Aku sudah tidak mempedulikan dress-ku yang berkelabat tertiup angin, dan rambutku yang berantakan saat turun dari motor. Rumah sakit masih cukup ramai di pukul sepuluh malam. Buru-buru aku melepas heels remajaku yang menyisakan bekas merah di sekitar mata kaki. Pian cukup terkejut melihatku yang bertelanjang kaki hendak berlari ke arah rumah sakit.

"Aku mau ikut ke dalam, Lou," kata Pian saat dia menaruh helm-nya di spion.

Iya, di sana aku berlari seolah lupa diri. Seperti Cinderella yang kabur dengan dua sepatu kaca di tangannya dan sopir kereta kencana yang berlari mengikuti.

Sesampai di koridor yang ada kamar Alexnya, kulihat Mama dan Om Irfan sedang duduk di kursi tunggu. Cara mereka duduk seperti orang yang baru saja melewati badai besar, pasrah.

"Alex," kataku saat di dekat mereka. Mama dan Om Irfan berdiri dan berusaha membuatku tetap tenang.

"Dia sudah melewati masa kritisnya," tenang Om Irfan meski wajahnya tak bisa berbohong kalau yang terjadi sebelum aku datang adalah sesuatu yang menegangkan.

"Tapi, Om. Bukannya dia sudah sempat koma saat itu, dan sadar, dan bisa bicara, dan ... dan ... kenapa tiba-tiba dia begini lagi?"

"Sesuatu masih membekas di kepalanya," Mama menjawab sambil membantuku duduk. Sementara itu Pian menyalami Om Irfan memperkenalkan diri. "Kata dokter ini hanya sisa trauma otak dan semacam reaksi penolakan dari tubuh Alex. Semuanya akan segera membaik," tambahnya.

"Kalau semuanya baik-baik saja kenapa kalian di luar?"

"Masih ada pemeriksaan."

Aku berusaha menenangkan diri. Menyingkirkan segala kemungkinan buruk yang sedari tadi mengerubuti kepalaku seperti ngengat-ngengat kecil pengganggu. Om Irfan sedang dalam perbincangan serius dengan Pian, meski begitu mereka sangat menjaga volume suaranya. Itulah Om Irfan yang kukenal, supel, dan berusaha meyakinkan semua orang di sekitarnya bahwa semuanya baik-baik saja meski di dalam hatinya ... bisa jadi dia menyembunyikan sesuatu.

THE CRITICAL MELODY [Sudah Dibukukan]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang