Chapter - 10: The Day Before

6K 909 40
                                    

1

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

1


Yang gue suka dari Rea bahkan setelah setahun kita pacaran adalah bagaimana dia membuat gue merasa sangat dia butuhkan. Komitmen picisan yang kita berdua buat waktu itu telah kami genggam rapat-rapat sampai sekarang. Pian atau siapapun nggak ada yang tahu kalau gue dan seorang Milly Reason menjalin hubungan spesial.

Bayangkan saja, selama itu kita berhasil bikin tak ada seorang pun yang curiga. Ini bukan soal gue yang memberi penekanan supaya Rea tetap mengunci, bahkan gue tak pernah memberi penekanan apapun. Dia ataupun gue sama-sama melepas tali ikatan ketika di depan orang-orang. Tapi jangan tanya ketika kami lagi ada kesempatan berdua. Seolah kalian semua harus membayar bulanan selama tinggal di planetnya gue sama Rea ini. Oke, mungkin itu berlebihan. Tidak, kami hanya merasa bahagia kalau lagi bareng.

Gue bangga sama Rea yang selama tiga semester ini berhasil menempati posisi pertama dari sekian banyak anak seangkatan. Diikuti Louisa pada posisi kedua. Dan pacarnya Rea tepat di posisi ketiga. Jadi soal kartu ajaib itu memang sebuah pertaruhan besar untuk siapapun yang bisa memenggal posisi yang ada. Jujur persaingannya begitu menakutkan.

Apalagi gue sama Rea yang kerjaannya pacaran. Maksudnya gini, memanfaatkan kedekatan untuk hal-hal baik. Sepertinya cuma gue sama Rea yang ketika hubungannya makin kuat, semakin bagus juga prestasi akademiknya. Iyalah, kita belajarnya bareng, gue yang main ke rumahnya Rea. Kakaknya Rea juga sudah akrab sekali sama gue, namanya Mas Abam (Abraham Reason), dia sudah kerja di kounter gadget bareng Maminya Rea.

Semenjak kita pacaran, gue jadi lebih tahu kalau selama ini Rea sebenarnya nggak punya teman yang benar-benar bisa selalu ada. Gue nggak ngerti alasannya apa, tapi ada sesuatu yang coba Mas Abam ceritakan ke gue. Cuman Rea selalu saja punya alasan untuk menghentikannya. Tak apa.

"Jadi akhir pekan ini kamu harus berangkat kemah?" Rea sedang membaca katalog kampus-kampus populer. Sementara tadi gue lihat Mas Abam masuk ke dalam kamarnya. Televisi yang sedang menyala pun dibiarkan menayangkan iklan alat kebugaran tanpa ditonton.

"Tahun ini aku punya firasat bakal dicalonin jadi ketua pramuka untuk masa bakti yang akan datang. Aku harus berangkat dong, Re. Lagian kenapa kamu nggak ikutan aktif di pramuka? Kan bisa misalkan akhirnya kita nanti berangkat bareng."

"Nggak apa-apa sih."

"Sih?"

"Aku udah terperangkap sama klub mata pelajaran."

"Risiko kan?"

"Ya."

"Kalau nanti yang jadi ketua putrinya Louisa gimana?"

Dia seperti pura-pura tidak mendengar. "Baiklah, ini bukan bahasan yang kamu harapkan," kata gue lagi.

Ada tawa yang terdengar santai, dia memeluk leher gue dari belakang. Posisinya dia lagi baringan di sofa, sementara guenya lagi main legonya Mas Abam di karpet bawah sambil bersandar pada sofa yang sama. "Jangan gitu, nanti Mas Abam lihat."

THE CRITICAL MELODY [Sudah Dibukukan]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang