BAB X : Bagian III

1K 94 2
                                    


Pintu terbuka, menampilkan sosok pria bersurai kelam yang menatap sendu. Melangkah gontai menuju kursi terdekat, tak menghiraukan tatapan heran dari saudaranya.

"Eral, ada apa?" tanya Kael, heran.

Menggeleng, Eral menutupi semua kegundahan hati. Namun, Kael bukan orang yang mudah dibodohi. Melangkah, pria berkacamata itu menepuk bahu Eral, tersenyum lembut.

"Kau tidak perlu memendamnya sendirian."

Menghela napas, Eral hanya menggeleng lemah. "Pada akhirnya aku yang membawanya ke lubang kematian," bisik Eral.

Kael mengerti apa yang Eral bicarakan. Luka lama yang kembali terbuka. Menganga, menarik kembali memori pahit di masa lampau. Ya, Eral berjanji untuk tidak menyakiti wanita. Tapi mengapa? Mengapa semua tragedi terulang persis seperti apa yang terjadi sebelumnya?

"Itu takdir, Eral. Kita tidak bisa menentukan kapan seseorang akan mati. " Kael menasihati.

Menggeleng, Eral menyangkal kenyataan di depan mata. Lihat ke belakang, hanya ada kekelaman untuk orang yang mencintainya. Kutukan itu ... kutukan yang membuat Eral membekukan hati untuk selamanya. Kutukan yang membuat luka terdalam baginya. Menangkup wajah, sang pria tampan hanya bisa menghela napas pasrah.

Satu korban, telah jatuh di tangannya ... dulu. Ya, dulu ... saat pertama ia mengenal cinta. Dan dengan kejamnya dewa mempermainkan takdir. Menjungkir balik hidup yang penuh canda tawa, menjadi duka yang tak terlupa. Kali ini pun, ia mengulanginya.

"Eral, meratap tak akan membantu apa pun." Kael kembali berbicara.

Eral mengangguk lemah, menatap lantai pualam yang menjadi pijakan. Meratap memang tidak menyelesaikan masalah, tapi bagaimana bisa ia tidak meratapi takdir yang begitu kejam? Ia ingin memprotes Malvheeta. Tapi apa daya, ia pun tak bisa mengubah apa yang tertulis dalam lembaran takdir. Menghela napas, Eral merasakan sakit yang merambah di dada. Menggerogoti kebahagiaan dan harapannya.

"Mungkin, aku harus mendinginkan kepala." Eral berbisik pedih. Tentu, ia hanya ingin sendiri untuk beberapa waktu. Bersedih untuk orang yang berharga baginya bukan suatu hal yang salah, bukan?

Berdiri, Eral pun melangkah. Hingga suara sesuatu yang jatuh mengalihkan pandangan mereka. Menoleh, baik Eral maupun Kael menatap kertas yang baru saja terjatuh. Eral yang mengetahui benda apa itu, berbalik dan mengambilnya. Ia langsung teringat dengan pesan Freya. Ya, itu surat yang diberikan Freya.

"Surat apa itu, Eral?" tanya Kael.

Eral menggeleng, karena ia pun belum membaca apa yang tertulis di sana. Surat Lios untuk Ou, Freya menyerahkan surat itu padanya untuk Ou. Dan Eral tahu, surat itu pastilah surat yang penting. Eral segera membuka surat itu, membaca kata demi kata yang tertulis di sana. Tiba-tiba Eral membelalak, menatap tak percaya pada surat di tangannya.

"Ada apa? Apa yang tertulis?"

Tatapan Eral beralih pada Kael. "Kael, kita harus membereskan satu kesalahpahaman fatal secepatnya."

Mengernyit, Kael tak mengerti maksud Eral, sampai pria berkacamata itu mengambil kertas di tangan Eral. Membaca dengan saksama. Kael nampak kaget, tapi setelah itu senyum simpul muncul di bibirnya.

"Ini surat yang bagus," ujar Kael sambil menggulung lembaran surat itu. "Dengan begini, si pirang itu pasti sangat bahagia."

Mengangguk, Eral pun tersenyum simpul. Satu masalah, selesai. Mereka tak menyangka, Lios ternyata peduli dengan Ou dan Ningyou. Naluri seorang ayah, Lios ternyata memilikinya.

✔️ My King : Flower of Arahasis [ TAMAT ]Où les histoires vivent. Découvrez maintenant