22. Kebingunganku.

Start from the beginning
                                    

Allah!

Mungkin selama ini aku melupakan-Nya. Bukankah aku masih punya Dia? Aku bisa meminta petunjuk. Tapi sebentar. Bagaimana bila saat aku berdoa, malah terselip ragu. Bukannya mendapatkan petunjuk, malah petunjuknya cenderung pada apa yang aku pikirkan? Atau aku merasa tidak yakin kalau itu sebuah petunjuk?

Lagi-lagi aku bingung.

Lalu aku harus bagaimana?

Bolehkah aku berteriak?

Atau menangis sambil menggigit ujung bajuku dengan mencakar lantai?

Oh, tidak! Itu gila namanya.

Sebaiknya aku berdoa atau sholat saja dan bersujud lama dalam meminta petunjuk. Bagaimana pun akhirnya, biarlah semua berjalan tanpa perlu kupaksakan. Yang penting mintanya sering. Bukankah Allah sudah berjanji akan memberi pada yang meminta? Ya sudah, mudahnya begitu saja. Hmm, kali ini aku lebih bijak dari sebelumnya. Pikirku semata.

🌿🌿🌿

Hari ini adalah hari terakhir cutiku. Aku yakin pasti Mas Al akan menjemputku. Seperti biasa dengan jurus busur panah beracunnya yang menggoda dengan sedikit bumbu ejekan. It makes me even more illfeel!

Tebakanku seperti tukang ramal profesional saja. Bagaimana tidak, baru saja kupikir begitu, Mas Aldric sudah datang dengan mobil mewahnya yang memasuki halaman rumah. Ayah dan ibu sudah bersiap menyambutnya di kursi depan rumah karena sebelumnya ia menghubungi ayah. Tak lama berselang, mobil mewah milik Mas Al memasuki halaman rumah.

Keluar dari mobil, Mas Al tersenyum begitu manis pada kedua orangtuaku. Uhh, aktingnya, manis sekali. Kemucing yang kupegang setelah membersihkan meja tadi kupukul-pukul ke telapak tangan yang kutekuk. Aku tersenyum sarkastis.

Mas Al mengucap salam lalu mencium punggung tangan kedua orangtuaku. Mereka orangtuaku! Setelah itu, ia menghampiriku. Jangan bilang hendak mengeluarkan jurus-jurus godaannya itu lagi. Saya takkan tertipu lagi, sori.

Tanpa melihat wajahku, Mas Al menoleh dan tersenyum pada kedua orangtuaku. Ia menyerahkan padaku sebungkus besar entah apa isinya seraya mengatakan, "Ambar, tolong kupas buah-buahan ini ya? Pasti ayah sama ibu suka," titah Mas Aldric.

Aku menahan napas. Memangnya aku pembokatnya? Oke, ini buat orangtuaku. Kuterima.

Kulangkahkan kaki segera ke dapur dan melihat isi bungkus besar itu. Benar berisi buah-buahan segar yang jarang dijual di kedai buah. Ada apel, kiwi, strawberri, leci dan ini buah pear. Ada susu kental manis dan mayonesnya juga.

"Ini mo buat salad buah? Oke aku bisa," gumamku sendiri.

Dengan gesit kukupas bagian kulit buah yang perlu dikupas dan dibersihkan. Kuambil mangkok berukuran besar dan memotong dadu semua buah. Setelah itu kutuang mayonesnya. Ada susu kental manis yang tertinggal. Ah, sepertinya tidak perlu. Ayah tak boleh terlalu banyak manis.

Setelah semua dirasa cukup, kusiapkan beberapa mangkok kecil dan sendok makan. Kubawa ke ruangan depan. Semua menikmati apa yang sudah kusiapkan. Aku hanya melihat mereka makan dengan lahap terutama ayah dan ibu. Mereka tersenyum saat menikmatinya. Bagaimanapun juga, melihat wajah mereka yang tersenyum membuatku bahagia.

Inayat HatiWhere stories live. Discover now