"Nggak mau pulang?" Tanya bos gue sambil tersenyum, sumpah, ini kali pertama gue lihat dia tersenyum, dan ini juga kali pertama gue melihat dia melilitkan tangannya di lengan seorang pria. Mereka berjalan meninggalkan gue yang sibuk mengumpulkan nyawa gue yang sempat berceceran.

Saat gue melihat jam tangan, sudah jam sepuluh, itu berati sejam gue ketiduran dengan nyenyaknya, dan sejam juga meraka berada didalam ruangan itu berdua. Ngapain?

"Nggak semua yang terjadi di dunia ini harus jadi urusan lo, Bi . . ." batin gue menasehati diri gue sendiri.

Setelah mematikan semua piranti computer, gue bergegas turun, menuju lobi dan berharap bahwa ojek online yang gue pesan barusan udah sampai dan menunggu gue di depan kantor.

"Ting." Pintu lift terbuka dan sial bener, gue baru ngeh kalau hujan lebat di luar.

Nasib, bisa nggak sih ramah ke gue barang sehari aja? Udah seharian capek setengah mati, kepergok ketiduran sama si annoying bos dan berondongnya yang super ganteng, dan udah jam sepuluh malem, mau balik, cuman naik ojek, malah ujan deres banget.

Gue menunggu di loby sementara seluruh penghuni gedung ini mungkin saja sudah keluar. Siapa yang bisa gue hubungi? Bokap sama nyokap nggak mungkin, abang gue juga lagi di luar kota, dan kakak perempuan gue lagi hamil, lagian nggak enak juga sama suaminya kalau minta jemput dia.

"Belum balik?" Suara itu membuat gue menelan ludah, semakin malam gue semakin nggak yakin dengan tingkat kesadaran gue. Dan saat gue menoleh bener, suara itu gue kenal banget, dan itu adalah Edwin. Gue melihat dia masih menyelempang drafting tube di pundaknya. Kesialan yang sempurna untuk hari ini.

"Belum." Jawab gue singkat, sambil beringsut menjauh, berpura-pura mengecek hujan dengan menegadahkan tangan gue, padahal jelas-jelas hujan masih deres banget, demi apa? Demi biar gue nggak berada di sekitar dia.

"Mau bareng pulangnya?" Tanyanya ikut-ikutan menengadahkan tangan ke langit, ini gue doang yang stupid atau stupidity itu menular sih? Kok dia juga jadi ikutan aneh.

"Duluan aja, saya udah pesen ojek kok." Gue mundur, dan dia masih berada di posisi dekat gue berdiri tadi, terkena terpaan tampias hujan.

"Ok, saya duluan." Katanya menoleh ke arah gue sambil melempar senyum, sebelum akhirnya lari-lari kecil ke arah parking area yang ada di luar gedung. Dan beberapa menit kemudian mobilnya melintas di hadapan gue, menyisakan cipratan air hujan yang tadinya sempat tergenang. Ngilu, nyeri, entah bagaimana menggambarkan perasaan gue saat ini. Pas lagi cinta-cintanya, dan udah lima tahun juga, dengan alasan "sering berantem" kami akhirnya menyerah untuk hubungan kami, dan sekarang dalam tempo yang sesingkat-singkatnya dia bisa menemukan wanita lain yang fit dengannya dan siap dia nikahi. Ironis banget nggak sih dunia ini.

Apa iya selama lima tahun ini yang cinta hanya gue?

Apa iya selama lima tahun ini yang berjuang hanya gue?

Gue berjalan menerobos hujan begitu saja, seperti bulir-bulir air hujan yang ternyata sudah tidak sederas tadi jatuh begitu saja tanpa menyalahkan angina yang sudah membuatnya jatuh, mungkin gue juga harus seperti itu. Mengingat pesan eyang gue, apapun yang terjadi dalam hidup kamu, kamu harus menerima dengan legowo, karena semua sudah tertulis di telapaktanganmu. Tidak ada yang kebetulan. Dan termasuk kandasnya hubungan gue dengan Edwin, ini juga bagian dari takdir yang harus gue terima dengan legowo.

"Mba Arimbi?" Tanya seorang pria yang tampak basah kuyup berselimutkan mantol model kelelawar.

"Iya." Angguk gue.

"Ini helmnya mba. Mau pakai mantol dulu?" Tanyanya.

"Nggak usah mas, udah kadung basah juga." Jawab gue.

My New Boss #Googleplaybook #JE Bosco PublisherWhere stories live. Discover now