Pangsit Cik Ma

8.7K 682 24
                                    

"Cik Ma . . ." Gue duduk di sebuah kursi, satu-satunya kursi kosong di food court yang ada di lantai lima gedung tempat kantor gue berada.

Cik Ma adalah pedagang pangsit legendaris, yang katanya udah jualan di situ sekitar sepuluh tahunan.

Dia selalu dengan mata sipit dan senyum menawan dibumbui dengan lesung pipit dan suara cempreng khas yang nggak bisa ngomong pelan menjawab. "Biasa?"

"Ya Cik. Minumnya juga biasa cik." teriak gue.

Meski ini jam sibuk baginya, ini adalah satu-satunya jam dimana gue rasanya bisa hidup sebagai manusia normal, makan dan minum serta bernafas dengan tenang.

Mata gue menebar pandang keseluruh sisi food court semua orang sedang sibuk mengunyah, menelan, ngobrol, terbatuk, bahkan ada yang bersin-bersin karena bau Mang Engkong numis bumbu nasi goreng super pedas.

"Ni pesenan lu." Cik Ma datang sendiri dengan sebuah baki berisi satu mangkok pangsit kuah, dan satu gelas lemon tea ditambah dengan ekstra pangsit kering juga semangkuk choi pan ekstra pedas sebagai kudapan.

"Thanks Cik." Gue nyengir kuda.

"Yang sabar ya lu." Katanya sambil menepuk pundak gue, dan gue yang hampir memasukan satu biji choi pan ke mulut gue sontak menghentikan adegan itu dan menatap bingung ke arah cik Ma.

"Edwin tadi dateng, pesen makanan yang biasa kalian makan, tapi sama cewe lain." Cik Ma berbisik di telinga gue. "Mau kawin katanya." Imbuhnya, masih di posisi yang sama.

Cikkkkk Maaaaa (emotikon nangis sampai guling gulung)

Thanks sudah berhasil membuat cacing gue yang hampir jadi seganas ikan piranha mendadak jadi jelly, lembek.

"Pangsit . . .!" Teriak Koh Akhiong, dan sontak membuat Cik Ma lari terbirit-birit menuju kedainya.

"Ya . . ." Jawabnya sambil lari, menyisakan gue yang duduk sendiri, nggak jauh dari kedai Cik Ma, menatap choi pan super pedas kesukaan gue yang mendadak kehilangan daya tariknya.

Tapi demi teriakan cacing gue yang hampir tak terdengar itu, gue memaksa satu, dua, tiga choi pan super pedas itu menjejali mulut gue. Rasa pedas, gurihnya masih selalu sama, menampar lidah, tapi sensasinya menjadi berbeda, karena biasa gue memakannya penuh kebahagiaan, sekarang tidak lagi. Gue mengelus perut gue, "Ini gue lakuin demi kalian, cacing-cacing kesayangan gue." batin gue.

Well, masih bisa waras setelah apa yang gue alami itu bagian dari keajaiban sih. Gue akan sedikit bercerita, mundur ke beberapa waktu lalu. Singkatnya, gue kenal sama Edwin, yang adalah supervisor gue waktu pertama kali gue gabung di kantor sekitar lima tahun yang lalu.

Kalau kata eyang gue "awiting trisno jalaran soko kulino" atau in Indonesia "suka itu lantaran terbiasa" itu bener banget. Awalnya kami ya sebagai supervisor dan staf, nggak lebih.

Tapi berhubung gue adalah penggemar drama Korea, jadi lihat sesuatu yang berbau oriental itu kaya gue lihat pangsit Cik Ma pas waktu gue laper tingkat dewa, bawaannya baper pengen makan. Nah begitu juga dengan Pak Edwin, dulu gue sebutnya pak. Bawaannya pengen deket terus, pengen lihat dia tiap pagi dateng dengan pakaian rapi, masuk ke ruangannya, sesekali nyamperin gue kasih tumpukan kerjaan, ngajak gue meeting sama klien, ah . . . waktu itu semua indah.

Setahun jadi stafnya dia, kami sering lembur bareng (walaupun nggak berdua doang), sering diajak meeting sama klien (which is kalau nabrak jam makan siang pasti ditraktir makan) eh kok ya lama-lama dia menunjukan kecenderungan bahwa dia punya perhatian lebih ke gue.

Outing kantor di Lembang, Bandung tanggal 12 sampai 14 Februari tahun 2013, di sanalah semua berawal. Dia ngajak gue keluar berdua doang pas tanggal 13 Februari malem, dan dia bilang kalau dia suka sama gue, as a gentle man.

My New Boss #Googleplaybook #JE Bosco PublisherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang