O5

1.4K 350 65
                                    

"Jis! Lo balik duluan? Terus gue balik naik apaan?" gue menggeram marah di telepon, karena Jisoo ninggalin gue, otomatis supir juga nurut Jisoo.

Dari seberang sana, gue dengar Jisoo ketawa puas, "Urusan lo lah, kak. Salah lo sendiri keluarnya lama. Gue sama Pak Usman udah nunggu setengah jam,"

Rasanya punya adik kayak Jasmine itu... Mau gue anjing-anjingin, "Suruh Pak Usman balik, jemput gue!"

"Yeuh. Pak Usman lagi antar Mami ke pasar. Jangan nyusahin lo jadi anak,"

Gue putus sambungan teleponnya. Emosi gue. Bukan tanpa alasan gue keluar telat. Ini gara-gara si botak Toto yang ngehukum gue, gara-gara jam olahraga yang harusnya lari keliling lapangan lima kali, gue keliling cuma satu kali, dan bukan lari, tapi jalan santai. Akhirnya, selesai jam terakhir, gue di panggil Pak Toto ke ruangannya dan di suruh buat nyalin nilai.

'Sialan! Gue sumpahin si Toto botak abadi,' batin gue karena masih kesal.

Mana sekolah udah mulai sepi. Mau pakai ojek online, cuma belum di update aplikasinya, karena memory handphone gue udah full. Bala (sial) banget gue hari ini. Naik angkot? Mana ada angkot lewat perumahan rumah gue. Yang ada, gue di turunin dekat perumahan gue, dan jalan kurang lebih 5km.

Gue mendengus. Gue nengok kanan kiri gak ada taksi burung biru. Bikin gue pengen nyumpahin Pak Toto lagi.

Tiba-tiba ada motor yang berhenti disamping gue, "Ann? Belum balik?" gue tau cowok itu siapa. Jaeludin Alani. Biasa di panggil Jae, bukan Jahe. Ketua kelas XII IPS 4. Samping kelas gue. Dia emang ramah. Kalau lewat depan gue selalu senyum. Mana senyumnya bikin meleleh.

Gue gelengin kepala dengan cepat buat balikin kesadaran gue, 'Inget Willis, Ann! Jangan goyah karena Jae,'

"Belum, Jae. Tadi di hukum Pak Toto, jadi di tinggal sama Jisoo,"

"Terus naik apa pulangnya?"

Gue mengangkat bahu singkat, "Gak tau, Jae. Gak ada taksi. Mana aplikasi ojek online gue belum di update. Kalau gak ada taksi lewat, terpaksa naik angkot,"

"Bareng gue aja, yuk!"

Gue melebarkan mata ngeliat Jae, "Gak apa, nih? Kan rumah lo sama rumah gue jauh, Jae. Kasian lo-nya," gue gak bohong. Rumah Jae beda arah sama gue. Kalau nganterin gue, dia harus putar balik lagi. Gak tega lah gue. Mana panas terik kayak gini.

"Gue sih gak apa. Itu juga kalau lo mau di anterin pakai motor butut gue ini," Jae menepuk-nepuk motornya. Iya, motornya itu motor tua. Tahun 92-an. Astrea Honda.

Gue gak masalah. Toh, kesuksesan orang gak di liat dari apa yang dia punya sekarang. Jadi gue tertawa renyah, "Jangan di jual motor kayak gini, Jae,"

Jae pasang senyum meringisnya, "Kenapa? Gak akan laku, ya?"

Gue menggeleng cepat, "Bukan! Ini motor harga jualnya bakal mahal. Motor antik,"

Jae ketawa dengan keras, "Gue kira, motor ini gak laku. Lagian, siapa yang mau beli motor butut gini,"

"Terus, kenapa museum mau nerima barang rongsok?"

Jae ketawa geli, "Iya, iya. Gue kalah," Jae ngeliat gue, "Jadi? Mau nebeng?" gue mengangguk semangat. Dari pada gue luntang lantung di jalan, mending gue numpang di motor antiknya Jae.

Sebelum gue naik motor, Jae pasangin helmnya ke gue, "Pakai helm, biar aman,"

"Lo gimana?"

"Kepala gue batu, jadi gak usah khawatir. Lagian nanti kita lewat jalan tikus, biar gak ada polisi," gue mengangguk nurut.

something new ✔Where stories live. Discover now