#14 Apa Ada Jalan Lain?

59 20 0
                                    

Para dokter dan tenaga medis lainnya saling membantu di atas meja operasi. Terlihat Ji Yeon yang tak sadarkan diri dengan berbagai alat dipasang pada dirinya termasuk selang di mulutnya.

Di luar sini, seluruh keluarga Ji Yeon di tambaj juga dengan Shi Kyung menanti dengan sabar jalannya operasi di dalam sana. Meskipun raut wajah mereka tak satu pun yang menyiratkan wajah yang bahagia, mereka masih duduk dengan tenang di kursi tunggu yang tersedia di situ.

Ibu Ji Yeon terus meneteskan air mata, sedang Yeosob tak bisa berbuat banyak selain terus berada di sisinya. Berbeda dengan Tn. Ahn dan Shi Kyung yang sama sekali tak berniat untuk duduk sebentar untuk melemaskan sedikit otot-ototnya.

Sudah hampir delapan jam, namun tak satu pun orang di dalam ruang operasi melewati pintu itu.

Ny. Ahn perlahan sudah tertidur di bahu putranya akibat kelelahan. Yeosob menatap lirih pintu ruangan itu yang tak kunjung menandakan sesuatu.

Ia masih tak percaya kabar ini yang ia dapat. Begitu pun halnya Ayah dan Ibunya yang juga sangat terguncang mendapati putrinya sudah berada di rumah sakit dan sedang menjalankan operasi akibat kecelakaan yang cukup parah.

Yeosob membaringkan Ibunya di kursi itu dengan sangat hati-hati. Setelah itu, ia beranjak menemui Shi Kyung yang sedang berada tak jauh dari depan pintu ruang operasi.

"Jjogiyeo! Bisa kita bicara sebentar?" kata Yeosob dengan sopan.

Shi Kyung mengangguk dan mengikuti Yeosob yang sudah berjalan lebih dulu. Namun, baru saja beberapa langkah suara pintu terbuka dan seseorang yang mencari wali pasien membuat mereka serentak berbalik dan mengurungkan niat mereka untuk berbicara. Mereka seketika lupa saat melihat dokter yang keluar dari ruang pasien.

"Bagaimana kondisi putri saya, dokter?" Tanya Tn. Ahn berusaha untuk tetap tenang. Yeosob dan Shi Kyung mengencangkan pendengaran mereka.

"Anda walinya? Bisa ikut langsung ke ruangan saya. Di sana akan saya jelaskan lebih detailnya," kata dokter dengan kaca mata minus yang melengket sempurna di hidungnya. Nama dokter itu Jo Gu Hyo, terlihat dari tanda namanya yang terletak di sebelah kiri jubah putihnya.

Tn. Ahn mengangguk mengerti. Ia bersama dokter Jo langsung menuju ke ruangannya.

"Noona.... Apa yang akan ku lakukan sekarang?!" suara Yeosob benar-benar terdengar memilukan.

****

Tae Yang bersama Se Na baru saja menyelesaikan pernikahan mereka dua hari yang lalu di Amerika. Ia sangat bahagia meskipun ia tahu kebahagiaannya akan lengkap jika Ji Yeon turut hadir dan menyaksikan pernikahan mereka.

Tae Yang dan Se Na menyelenggarakan pernikahan dengan sangat sederhana. Hanya ada beberapa kerabat yang sudah di kenal Ibunya di Amerika dan juga tentu saja Ibunya juga hadir.

Tae Yang, Se Na, dan juga Ibunya sedang menikmati makan malam mereka. Keluarga kecil itu tampak tak bisa menyembunyikan  kebahagiaan mereka.

"Tae Yang-ah... Apa tidak sebaiknya memberi tahu Ayahmu?" Ibunya tiba-tiba mengatakan hal yang dalam sekejap merubah atmosfer diantara mereka.

"Ini untuk Ibu. Ibu harus makan yang banyak, arrajhi?", mengabaikan pertanyaan Ibunya, bersikap ia tak mendengar apa pun.

Se Na hanya bisa diam mengamati apa yang terjadi. Ia hanya takut jika ia bersuara itu hanya semakin memperparah suasana.

Ibunya tersenyum getir, dan langsung menyuap daging yang di beri oleh putra semata wayangnya itu.
"Oooh, geurae... Mulai sekarang Ibu akan membiarkanmu mengurus Ibu."

Tae Yang tersenyum tulus, namun tak sampai pada matanya. Ibunya lalu memberikan potongan daging untuk Se Na.
"Kau juga harus makan yang banyak, menantuku."

Ada rasa bahagia saat Ibu mertuanya memanggilnya langsung dengan kata menantu. "Ye, Aemonim. Khamsahamnida."

Siang hari di lingkungan ini terasa sedikit berbeda. Mungkin karena sudah lama sekali ia tak pernah berkunjung sejak kepindahannya. Beberapa dokumen tersusun rapi di atas meja kerja Taeyang. Hal pertama yang ia lakukan adalah mendapatkan pekerjaan yang layak. Taeyang hanya ke kantor saja secara langsung, karena Taeyang sudah mendapat status sebagai Manager Tim di bagian pengembangan. Taeyang memiliki teman disana dan dia juga yang merekomendasikan padanya.

Tiba-tiba, pikirannya melayang ke Ji Yeon. Dia belum mendapat kabar darinya, dan juga Yeosob pun juga begitu. Taeyang lalu mengirim sebuah surel pada Ji Yeon untuk memberitahu kalau pernikahan mereka berjalan lancar.

"Taeyang-ah..." panggil Se Na.

"Oh, wae?"

"Apa maksudmu kenapa? Aku hanya memanggil suamiku, apa tidak boleh?"

"Aigoo... kau boleh melakukannya sampai ribuan kali sekali pun."

"Taeyang-ah..." panggil Se Na lagi saat sudah berada dekat dengan suaminya yang masih duduk di balik meja kerjanya. Terdengar sedikit ragu ketika ia memanggil Taeyang kali ini.

"Katakan. Aku tahu, kau ingin mengatakan sesuatu."

Binggo!
Dugaan Taeyang memang benar. Sangat. Se Na memang ingin mengatakan sesuatu. Lebih tepatnya menanyakan hal terkait dengan Ayah mertuanya. Namun, Se Na masih ragu. Ia takut kalau ia akan menyinggung perasaan Taeyang.

"Kenapa wajahmu berubah seserius itu? Katakan... Aku akan mendengarkannya," komentar Taeyang yang mendapati istrinya seperti itu.

"I... Itu... Kau belum bekerja?" Se Na merutuki dirinya yang begitu bodoh. Apa susahnya mengeluarkan pendapatnya, "Apa yang sedang kau lakukan sekarang, Se Na-ah... Kau sungguh bodoh!" Batinnya.

"Aaah... Ku kira apa. Besok aku akan mulai bekerja."

"Begitu rupanya. Aku kembali ke kamar dulu. Jangan terlalu lelah bekerja, mengerti?"

"Arraseo..."

****

Ji Yeon sudah di pindahkan ke rumah sakit Seoul pasca dua hari setelah operasi. Sudah hampir 10 hari, Ji Yeon masih terbaring dengan berbagai alat dan selang yang masih setia membantunya bertahan hidup. Hanya alat-alat itulah yang sekarang jadi harapan semuanya.

Semua sudah tahu bagaimana kondisi yang dialami oleh Ji Yeon. Akibat dari kecelakan tragis itu kini Ji Yeon mengalami kelumpuhan otak karena cedera yang cukup parah, itu sebabnya Ji Yeon sekarang terbaring koma sejak hari itu.

Seorang dokter muda memasuki kamar rawat Ji Yeon. Miris yang dirasakan saat melihat Shi Kyung yang dengan setia menunggu Ji Yeon disana. Ia tahu, orang yang di sayanginya sudah pergi meninggalkannya. Kini ia harus menghadapi hal ini lagi.

Park Ga Ram lalu mengecek monitor dan beberapa alat lainnya dan berusaha tak menganggu Shi Kyung yang tengah tertidur di sofa. Keadaan Ji Yeon masih sama. Tak ada perubahan sejak pasca operasi.

"Bagaimana keadaannya," tanya Shi Kyung yang baru saja terbangun.

"Masih tetap sama. Tidurlah... Kau juga harus istrahat."

"Ani, gwaenchana. Aku sudah cukup istrahat," memposisikan dirinya duduk.

Ga Ram ikut duduk di sebelah Shi Kyung dan saling memandang pasien yang tertidur dengan damai.

"Kau sudah makan," tanya Ga Ram khawatir.

"Aku tidak lapar," jawab Shi Kyung datar.

"Hyak! Kau mau ikut sakit juga? Andwe! Aku tidak bisa membiarkanmu. Ikut aku makan sekarang." Tukas Ga Ram khawatir namun tegas dalam setiap katanya.

"Tidak usah. Na jongmal gwaenchana."

"Huufttt..... Shi Kyung-ah... Dengarkan baik-baik. Aku tahu kau mengkhawatirkan dia, tapi kau juga harus memerhatikan kondisimu juga. Apa kau ingin seperti ini lagi, mengabaikan yang lain dan menyakiti dirimu sendiri? Sadarlah, Shi Kyung-ah."

Shi Kyung terdiam. Benar apa yang dikatakan oleh Ga Ram. Saat Ayah, Nenek, dan juga Bo Mi  meninggal yang ia lakukan adalah hal yang sama. Ia selalu tidur dan berharap ketika ia terbangun ia melupakan semuanya.

"Kau dengar aku?" Tanya Ga Ram.

"Gajja..." dengan suara parau.

ANDANTE 2Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt