12. Di manakah kebaikan?

En başından başla
                                    

"Aku hanya kesepian. Gak ada temen ngobrol. Seperti angka satu itu, aku sendirian. Dan sama seperti kamu yang juga sendirian."

"Apa maksud Anda?"

"Aku sudah tahu identitas lengkap dirimu, Ambar. Oke, lupakan soal masa lalu. Karena masa lalu itu hanya cerita dan anggap saja hanya mimpi."

Jujur, aku tak suka bila ada seseorang mencari tahu tentang diriku, terlebih soal masa lalu dan semua tentangku. Aku bukan artis atau politisi. Jadi kumohon jangan bahas soal kehidupanku.

Aku ingin mengatakan itu, tapi sudahlah. Biarkan laki-laki di telepon ini berbicara dan aku menjadi pendengar yang baik saja. Bukankah dia mencari teman untuk mendengarkan ceritanya?

"Ambar, apa kau tidur?"

Aku mulai malas menanggapi. Kupikir di awal, teman atau saudara si bossy ini pendiam, dingin dan jaim. Ternyata malah pemikiranku berbanding terbalik dengan kenyataan.

"Tidak, Mas Al. Aku hanya mengantuk. Sebaiknya kita lanjut besok-besok saja. Karena besok, saya harus berangkat pagi."

"Datang terlambat pun tak apa. Sesekalilah. Nanti aku yang bicara pada bosmu."

"Maaf, Mas Al. Saya terbiasa disiplin. Assalamualaikum," ucapku kemudian sembari menutup sambungan telepon.

Setelahnya aku menghela napas panjang. Kulihat layar ponsel. Aku bersyukur, Mas Aldric tidak menghubungiku lagi. Sepertinya dia mengerti aku yang kelelahan.

🌿🌿🌿

Aku tercengang saat sebuket mawar merah menyala bercampur sedap malam ada di atas meja kerjaku. Aku meraih dan menciumnya sejenak dengan senyuman. Bagaimana bisa seseorang meletakkan bunga kesukaanku di sini? Tapi kenapa harus ada bunga sedap malam juga? Tak apalah. Aku menyukai harumnya.

Mungkinkah ini milik seseorang yang tertinggal di atas mejaku?

Aku menoleh ke kanan dan kiri. Ini masih sangat pagi. Bahkan Andi pun belum datang. Aku membuka kertas kecil di balik buket bunga.

For you, Ambar.

Aku tergagu. Ini milikku. Seseorang meletakkan bunga ini di atas meja kerjaku. Dan ini memang untukku. Aku berdiri dan menoleh ke kanan dan kiri. Ruangan masih sepi. Hanya ada beberapa pegawai yang datang. Aku memang biasa berangkat pagi karena menghindari macet.

Apa peduliku? Aku menyukai bunga ini. Bahkan Akbar pun tak pernah menghadiahiku bunga. Walaupun hanya sekuntum saja. Bukannya pelit. Tapi ia tak menyukai bunga. Akbar lebih suka memberiku hadiah emas atau barang mewah lainnya.

Aku mengambil vas kosong di laci bawah dalam nakas dan menyusun bunga-bunga itu. Aku meraih tas dan mengambil air mineral dalam botol. Setelah kutuangkan ke dalam vas berbentuk botol yang lebar di bagian bawah, kuletakkan vas di atas meja dekat komputer. Sesekali aku meliriknya dan tersenyum kecil saat tengah membuka data-data di komputer.

"Sepertinya aku berhasil mengubah mood seorang wanita dengan bunga."

Aku menoleh saat seorang laki-laki beraroma citrus tengah berbicara di dekatku.

"Mas Aldric."

Laki-laki ini lagi. Padahal baru kemaren kami bertemu. Tapi ia sudah seperti bayangan saja.

"Aku tak perlu bertanya karena sudah tahu jawabannya. Kamu suka bunga itu. Terima kasih."

"Saya yang terima kasih, Mas Al, untuk bunga ini."

Inayat HatiHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin