Bagian IX

389 25 1
                                    

Jika Attaya sedikit lebih beryukur, sebetulnya apa yang ada didunia mimpi selalu menakjubkan untuk dirinya. Seperti malam ini contohnya, Attaya melihat hasil pikirannya sepuluh tahun yang lalu sangat mengagumkan. Bahkan untuk dirinya yang berusia hampir 17 tahun.

Duduk diatas rumput hijau yang, menatap taburan bintang dengan alas langit malam yang gelap. Menatap bulan yang bersinar lembut kerahnya, dengan nyanyian alam yang menemaninya. Hmm.. Nikmat tuhan mana lagi yang akan engkau dustakan Attaya?

Suasana seperti ini yang Attaya butuhkan untuk mengistirahatkan tubuhnya. Setelah pulang dari lembah mimpi beberapa hari yang lalu. Dengan titah Aki, Attaya mulai belajar beladiri bersama panglima Had.

Setiap inci tubuhnya terasa sakit karena itu. Apalagi saat belajar menggunakan pedang yang beratnya tak terkira. Attaya khawatir tangannya akan putus menahan pedang itu.

Tapi selepas hari-hari berat ala-ala militer yang Attaya lewati, jika malamnya bisa ia habiskan untuk melihat keindahan dunia mimpi, sampai tertidur berselimutkan langit yang temaram. Attaya tak mengapa.

Attaya tahu sakit yang ia rasakan tak seberapa, dibandingkan penantian rakyat dunia mimpi untuk terbebas dari belenggu kisah yang ia gantung. Usahanya hanya untuk mengangkat pedang yang hampir seberatnya itu tak seberapa, jika dibandingkan dengan usaha Aki yang meyakinkan dirinya akan datang. Sang Pena sendiri yang akan menyelesaikan kisah ini.

Setelah puas menatap langit malam, Attaya menurunkan pandangannya. Ganti meneliti sekitarnya yang tak kalah menakjubkan dari lukisan malam yang tertera diatasnya. Pohon-pohon rindang, tumbuhan liar, sungai yang mengalir deras tidak jauh darinya. Attaya tersenyum penuh syukur untuk itu.

Tapi fokus matanya tidak beranjak saat melihat dua sosok yang sedikit lebih jauh dari tempat duduknya. Laki-laki dan seorang perempuan. Itu.. Devan dan Zee.

Selalu tak mengenakan jika sepasang retinanya menangkap Devan dan Zee yang dalam satu bingkai pandangannya. Entah sedang berlatih bertarung, atau hanya berbicara santai seperti sekarang.

Kacau! Moodnya mulai memburuk!!

Attaya kembali menatap kerlap kerlip taburan bintang yang memayunginya. Itu lebih baik daripada Attaya terus-terusan melihat Devan dan Zee bersama. Itu membuat moodnya berantakan dan memikirkan yang tidak-tidak.

"jangan mengkhawatirkan apa yang kamu belum terjadi Attaya. Boleh jadi apa yang kamu pikirkan adalah kebalikan apa yang akan terjadi kepadamu." Attaya tersentak kaget saat mendengar suara khas dari arah belakangnya. Ketika mendapati sosok Zee yang sedang tersenyum berjalan kearahnya, membuat Attaya menghela nafasnya lega.

"maaf jika aku mengagetkan mu pena."

Attaya menatap Zee dengan pandangan tidak suka. "kamu tahu aku nggak suka dipanggil pena. Panggil aku Attaya. Kamu boleh menyingkatnya jadi Atta." Attaya kembali menatap langit malam, tapi kali ini pikirannya kepada Devan. Bukankah ia bersama Zee tadi?

"langit yang indah bukan?" Attaya tidak bersuara apapun. Ia hanya mengangguk sebagai jawabannya.

"tapi akan tak berarti jika ini telah dikuasai oleh dreamor." dreamor lagi. Attaya sering mendengar kata itu. Tapi ia tak tahu satupun tentangnya.

"ngomong-ngomong siapa sih dreamor itu?" tanya Attaya penasaran.

Zee mengernyit heran. "Aki belum menceritakannya padamu?" sontak Attaya menggeleng. Ava banyak bercerita tentang dunia mimpi. Tapi tidak satupun membahas si dreamor-dreamor itu. Menyenggol saja tidak.

"pelindungmu-Devan juga belum memberi tahu?"

Attaya membulatkan matanya. "dia tahu?"

"ya dia tahu. Dia tahu seluk beluk tentang dunia mimpi. Dia juga tahu bahwa kamu akan berhasil menyelesaikan cerita ini. Dia tahu segalanya Attaya."

Attaya semakin membulatkan matanya. Jadi Devan tahu?

***

Attaya meremas perutnya, mencoba menghilangkan rasa mual yang mulai menjalar ditubuhnya. Tangannya sakit, Kakinya sakit, seluruh tubuhnya sakit.

"Bangun Attaya!" perintah Had yang menjulang tinggi dihadapannya.

"ahh.. Sakit." Erang Attaya semakin meremas kuat perutnya.

"ini bukan waktunya untuk bermalas-malasan Attaya. Cepat bangun dan lawan aku kembali." ujar Had dengan wajah tegasnya. Attaya mengepalkan tangannya kesal. Kalau tidak kesakitan seperti ini sudah Attaya habisi panglima kerajaan ini.

Dengan semangat baru-semangat untuk menghajar Had- Attaya bangkit berdiri. Tapi tidak beberapa lama, hanya sepersekian detik Attaya akan kembali jatuh. Beruntung, Devan dengan sigap menangkap tubuhnya, menahan dirinya agar tidak lagi tersungkur diatas tanah.

"saya rasa, Attaya butuh istirahat Had." jelas Devan sambil melingkarkan lengan Attaya kelehernya. Kondisinya dengan Attaya tidak jauh berbeda, berkeringat, kotor oleh debu dan kelelahan. Bedanya tidak ada luka dibagian wajah atau tubuh Devan lainnya. Tidak seperti Attaya yang merasa ngilu disetiap jengkal tubuhnya.

"tidak bisa. Attaya baru saja memulai latihannya 3 jam lalu. Dia akan tertinggal jauh jika harus beristirahat lagi." Attaya menajamkan pandangannya untuk Had. Hanya 3 jam?

Itu waktu yang lama untuk seorang yang cengeng seperti Attaya bertahan. Tapi Had bilang, Hanya?
Heh, kemana binar penuh harap yang Attaya terima darinya beberapa waktu lalu? Kenapa sekarang jadi semena-mena seperti saat ini?

"sudah terlalu sore untuk berlatih. Lagipula Aki bilang malam ini kita akan menyusun rencana?"

"itu tetap bukan alasan untuk Attaya berhenti berlatih. Lepaskan dia untuk mulai berlatih sekarang." Attaya melotot tak terima. Gila, nggak punya empati banget ngeliat gue yang udah gak karuan.

"tapi kondisi Attaya sudah tidak memungkinkan untuk berlatih Had. Dia bahkan tidak bisa berdiri." kali ini, Zee yang muncul dari balik Devan yang menjelaskan. Membuat Had sedikit meneliti keadaannya yang benar-benar kacau.

Had menarik nafasnya pelan, "baiklah, kamu boleh beristirahat. Tapi besok kita harus mulai pagi buta agar badan kamu mulai membiasakan menjadi seorang petarung." ya terserahlah, Attaya tak peduli. Yang penting ia bisa mengistirahatkan tubuhnya.

Setelah ijin berpamit, Attaya dibantu Devan dan Zee pergi dari tempat latihan bertarung. Cahaya matahari mulai berwarna kemerahan ditelan waktu. Gantinya sang rembulan mulai menduduki singgasananya.

"gue pengen disini." ucap Attaya membuat langkah Devan dan Zee terhenti. Devan menatapnya sangsi, "tapi kamu harus istirahat Attaya."

"tapi gue mau disini dulu. Kalau kalian mau masuk ya masuk aja. Gue pengen disini dulu." keukeuh Attaya melepaskan dirinya dari Devan. Dengan langkah pincang, Attaya mendudukan dirinya diatas rerumputan hijau.

Attaya meringgis saat kakinya berusaha ia julurkan kedepan. Benar-benar habis tubuhnya kali ini, tidak ada yang bersisa.

"nih minum dulu." Attaya menatap Devan yang kali ini sudah membawa sebuah gelas penuh dengan air. Tanpa disuruh lagi, Attaya mulai meminum airnya sampai habis. Segar. Kerongkongan yang tadinya seset kali ini terasa lebih lapang karena sudah minum air.

Devan membantu Attaya menyimpan gelas. Sarat sekali karena gerakan lengan Attaya yang patah-patah. "apa yang sakit?"

Attaya mencebik kesal, tidak cukupkah lebam diseluruh tubuhnya menandakan ia sakit juga diseluruh tubuhnya. Apa harus diperjelas lagi?

Tahu dirinya sudah membuat perempuan disampingnya kesal, Devan menempelkan saja telapak tanganya diatas luka Attaya, dengan kekuatannya ia mulai memgobati Attaya. Mulai dari lengannya, pergelangan kakinya, punggungnya, perutnya, lalu terakhir keningnya.

"mulai membaik?" tanya Devan setelah selesai mengobati. Attaya balas mengangguk. Jujur, tubuhnya sudah jauh lebih baik, tidak terasa sakit lagi. Tapi lelah sehariannya belum hilang sama sekali. Mungkin, memang istirahat yang ia butuhkan.

***

Have fun yaa buat nunggu pembagia rapor nya.
Buat nunggu kelanjutan cerita ini juga.
Ya.. Kalau ada yang nunggu:v

Makasih:*

Mimpi (✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang