06

22.6K 1.9K 96
                                    



Ghali melangkah pelan di lorong rumah sakit, menuju kamar rawat inap yang untuk beberapa hari ini kerap ia datangi. Dia membuka pintu kamar dan menemukan mamanya tengah duduk di atas ranjang rumah sakit dengan posisi agak menunduk. Mamanya terlihat serius membaca majalah, hingga tidak menyadari Ghali sudah masuk ke dalam kamar.

"Ma," panggil Ghali perlahan.

Amira Nafisah mengangkat wajahnya menatap sang putra. "Eh, kamu," Amira menutup majalah desain interior yang sedang dibacanya, ia juga melepas kacamata bacanya. "Bseok Mama udah bisa pulang," Amira meletakkan majalah berikut kacamata ke meja di samping ranjang. Dia melihat kepada Ghali yang duduk bersandar di sofa. "Besok kamu sekalian anterin Mama ketemu sama temen, ya?"

Ghali mengernyit ke arah mamanya. "Mau ngapain? Gak langsung pulang aja buat istirahat?" tanyanya dengan heran.

Amira tersenyum. "Habisnya udah terlanjur bikin janji sebelum kecelakaan," ujarnya.

Ghali menghela napas. "Gak bisa ntar-ntar aja? Mama kan habis kecelakaan, masa temennya gak mau ngerti?" sungut Ghali menahan kesal.

Amira menatap lekat putranya, dia memahami kekesalan Ghali. "Mama udah janji, Ghali. Janji harus ditepati. Lagian, Mama juga gak apa-apa, 'kan?"

Ghali mendecak pelan. Memang keadaan mamanya tidak mengkhawatirkan, dia hanya shock dan tangan kanannya memar karena terbentur badan mobil ketika menghindari sepeda motor yang berjalan serampangan dari arah yang berlawanan. Namun, meskipun tidak mengkhawatirkan, Ghali tetap memaksa Amira untuk dirawat inap di rumah sakit.

"Di mana?" tanya Ghali, berjalan mendekat ke sisi ranjang Amira.

"Di bakery punyanya temen Mama," jawab Amira. "Bentar doang. Habis itu Mama mau ke rumah Nenek kamu."

Alis Ghali hampir menyatu. "Nenek? Mama mau ke Jogja?"

Amira mengangguk. "Kamu tinggal sendiri dulu selama seminggu, ya. Kalau ada apa-apa, kan ada Bibi."

Ghali menghela napas lagi. Padahal baru kecelakaan, tetapi mamanya malah sudah pergi ke sana kemari. Tapi, Ghali diam-diam berpendapat kalau ke Jogja mungkin bagus juga untuk pemulihan kesehatan sang mama.

Pintu kamar berdecit, Ghali menoleh untuk melihat siapa yang masuk ke kamar rawat mamanya. Matanya segera terbelalak begitu mengenali satu per satu wajah yang melangkah masuk.

"Sore, Tante," sapa Harry berjalan menuju Amira. Dia mencium punggung tangan Amira, diikuti Arya, Vino, Zaky, Agam, dan Arya. Mereka sudah sering bertemu dengan Amira setiap berkumpul di rumah Ghali.

Sebagian dari mereka lalu duduk di sofa, dan sebagian lagi yang tidak mendapat tempat duduk, bersandar di pinggiran sofa.

"Kalian langsung ke sini dari sekolah?" tanya Amira.

"Iya, Tante," jawab Agam. "Tadi niatnya pengin berangkat barengan, tapi Ghali ngebut banget. Makanya dia sampai duluan."

Ghali melirik Agam lewat ekor matanya, sedangkan Agam tampak santai dengan ekspresi tak bersalah dengan kalimatnya barusan. Dia hanya berkata jujur.

Amira menggelengkan kepala melihat ke Ghali. "Kamu tuh ya, kebiasaan ...," ujarnya memahami sikap Ghali yang tidak terlalu terbiasa bersosialisasi, meskipun dengan teman-temannya sendiri.

"Tadi dia boncengan sama cewek lho, Tante," kata Arya.

"Eh, siapa?" tanya Amira. Mimik wajahnya menjadi serius melihat ke sang putra. Ghali menghela napas, dia berdiri dan masuk ke kamar mandi yang berada di dekatnya.

Our YearsWhere stories live. Discover now