EVENT SINDROM_Draw My Savant Syndrom

73 15 44
                                    

Screenwriter: Idol_assassin / onebili_1 // Casts: Seventeen DK & OC

***

Ini sudah kesekian kalinya aku pergi ke jalanan Myeongdong. Hanya sekedar menghilangkan rasa sakit hatiku beberapa hari lalu. Di depan etalase sebuah toko sepatu selalu menjadi tempatku merenung, mencoba mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada hatiku.

Jika aku mengingatnya berulang kali, rasanya air mata ini benar-benar akan tumpah saja. Bagaimana kekasihku bermain belakang dengan temanku sendiri. Mereka diam-diam selalu berkencan saat aku sedang sibuk dengan urusan sekolah dan printilannya. Dan ketika sudah ketahuan, tak ada etikat baik untuk sekedar minta maaf atau memberi alasan. Itu benar-benar terasa seperti tertusuk ratusan jarum di tempat yang sama.

"Huft... mereka sangat biadab juga." Cercahku pada diri sendiri.

Aku mengalihkan pada deretan pelukis jalanan di sebrang. Semuanya nampak sangat menikmati hidup walau hanya dengan menggambar. Bahkan aku yakin uang yang mereka dapat tidaklah mencukupi untuk keseharian mereka. Tapi kenapa mereka lebih bahagia dari diriku yang serba berkecukupan?

Aku tertunduk dan tersenyum kecut, kini aku mengerti apa arti kehidupan yang adil menurut Tuhan. Tak selalu semuanya baik untuk dibilang adil, tapi adil yang sebenarnya ketika porsi kesedihan dan kebahagiaan itu sama rata.

Aku kembali mendongakkan pandangan, untuk melihat ekpresi para pelukis yang membuatku sedikit terobati. Tapi, satu tatap begitu saja menghentikan pandanganku. Pemilik tatap itu tampak seperti pencuri yang ketahuan. Segera mengalihkan pandangan dariku, bahkan ia merapikan peralatannya. Baru kusadari, ia tidak bersama orang lain. Maksudku, ia tidak seperti para pelukis jalanan yang menggerombol. Dia bersembunyi di bawah pohon bersama kanvas dan alat lukisnya. Apakah dia seorang penguntit?

Menyadari tatapanku, ia benar-benar pergi dari tempatnya. Aku takut untuk memastikan bahwa dia adalah penguntit, tapi rasa penasaranku lebih besar. Aku beranjak bersamaan dengannya yang melangkah pergi. Meski aku tak tepat berada dibelakangnya, bersebrangan jalan nyatanya lebih memudahkan dalam mengikuti seseorang.

Brak!

"Aw..." rintihku kesakitan.

Kecerobohanku yang tidak melihat kedepan tapi ke orang itu membuatku bertabrakan dengan seseorang.

"kau baik-ba... Cha Woo?"

Suaranya sangat intens dalam telingaku, dan ketika aku melihatnya, amarahku padanya memuncak. Apalagi tangan kanannya tengah bergenggaman dengan tangan seseorang yang aku kenal.

"Oh... Seungcheol? Sedang berkencan? Sudah lama tidak bertemu ya?" ucapku dengan nada dingin. Tak lupa tatapan mencemooh aku berikan kepada pasangan biadab di hadapanku.

"Heol, sepertinya kau menderita ya tanpa Seungcheol, lihatlah penampilanmu itu...ck,ck,ck, mengenaskan."

Gadis tidak tahu malu itu dengan santainya menghinaku. Jijik rasanya mengetahui keaslian dari seseorang yang pernah bergelar teman dalam hidupku. Aku naik pitam, karena Seungcheol pun membiarkan kekasihnya itu menghinaku. Kenapa jadi aku yang terkesan bersalah dalam hubungan ini?

"Ah, jalang sepertimu sepertinya tak punya malu ya..." sindirku dengan tatapan tajam.

"Biadab..."

Ia marah dan hampir melayangkan sebuah tamparan kepadaku. Tapi, tangan kekar menahan gerakannya. Aku pikir itu adalah Seungcheol, tapi dugaanku salah besar. Seseorang dengan topi rapat menutupi wajah, membuatku tak dapat mengenalinya. Namun, dari pakaiannya membuatku berpikir sangat keras bahwa aku baru saja melihat seseorang dengan pakaian itu.

"Bung, lepaskan tanganmu dari gadisku..." Seungcheol membebaskan tangan kekasihnya dari penolongku.

Bisa-bisanya dia berkelakuan seperti itu dihadapanku. Sungguh pasangan dihadapanku ini membuatku mual.

"Ah, Oppa... ayo pergi saja!"

Dengan nada yang ia lembutkan, jalang itu mengantungkan tangannya di lengan Seungcheol.

Bolehkah aku menyumpal mulutnya itu?

Untungnya saja mereka benar-benar pergi sebelum aku melakukan hal lebih terhadap mereka. Rasa sakitku kini justru terganti oleh perasaan jijik. Aku tak bisa berucap apa lagi jika seseorang tidak menolongku. Bisa-bisa aku menjadi bahan tontonan sepanjang jalanan Myeongdong.

"Terima kasih, Oh..., kau baik-baik saja?"

Tiba-tiba penolongku ini berkelakuan aneh. Ia terjatuh dengan napas terengah-engah laykanya seorang pelari marathon. Saat aku ingin membantunya bangkit, ia justru dengan kasarnya menampik tanganku.

Mungkinkah?

Aku tersadar sekarang, bagian mana yang hilang dari ingatanku. Orang yang ada dihadapanku kini adalah orang yang sama dengan orang yang hampir aku kejar. Bagaimana bisa orang yang hilang dihadapanku, bisa berada di depanku dengan seperkian detik saja?

"Kau?"

Aku secara perlahan mendekatinya yang masih kesakitan. Tanganku yang ragu mencoba untuk menyibak topinya. Tapi aku kalah cepat,

Ia pingsan.

***

Aku tak bisa berhenti menangis menginggat kenagna yang kembali lagi. Keadaanya saat ini membuatku tambah bersalah karena tak memahaminya dari lama. Bahkan setelah sekian lama, ia tak mampu mendekati ku dan hanya memandang dari kejuhan.

Aku tak habis pikir kenapa aku bisa melupakannya, bahkan ia sangat mengingatku dengan baik. Mungkin tak ada dari guratan wajahku yang tak ia kenal, semuanya sama persis tak ada yang beda.

Lewat goresan-goresan konte dalam kanvas, aku tahu seberapa banyak ia telah menggambarku. Lewat pajangan dalam dinding, aku tahu ia sangat menungguku untuk kembali hadir dalam kehidupannya.

"Maaf, aku tak mencarimu setelah hari itu... ak-aku pikir kau tak mau bersamaku lagi." Aku tak mampu berucap lebih banyak lagi, karena isakan yang menggantikan kata-kataku.

"Seharusnya aku bisa melawan sakit ini demimu..."

Ia telah bangun dari pingsannya. Lee deokyeom ku telah kembali seperti terahkir kali aku berjumpa dengannya, lima belas tahun yang lalu. Raut wajahnya yang penuh senyum selalu ia tunjukkan padaku, saat orang lain tak ada. Aku menatapnya penuh iba, bagaimana dia bisa bertahan selama ini tanpa bersosialisasi dengan orang luar?

Aku tak bisa menahan amarahku pada diri sendiri, aku telah membuatnya menungguku selama ini. Kenapa tak kupahami jika ia mengalami kekurangan dan hanya membutuhkanku untuk tetap berada di sisinya?

"Cha Woo, jangan menangis untukku, lihatlah, ada banyak lukisanmu yang tersenyum"

Ia memelukku untuk sekian lama. Aku tahu ia sangat mengiginkan sentuhan dariku setelah sekian lama. Karena hanya lukisan yang bisa ia lampiaskan untuk menyalurkan rindunya padaku. Keadaannya yang memiliki satu kemampuan khusus membuat ia beruntung, setidaknya, walau ia tak berani menemuiku dalam kerumunan orang banyak, tapi ia bisa menatapku dalam kanvas.

"Apa maumu sebagai balasannya?" tanyaku padanya

Aku merenggangkan pelukan kami. Matanya yang berkaca-kaca seakan mengatakan padaku bahwa ia baik-baik saja sudah memandangku dalam diam. Ia tersenyum untuk kesekian kalinya setelah bertemu denganku. Ia mendekat secara perlahan, memberikan sensasi terpaan udara ke wajahku. Ia mencium keningku cukup lama, dan aku menikmati dalam pejaman mataku.

"Gambar aku, Min Cha Woo. Draw my Sarvant syndrome."

The end.

ROOM 4Where stories live. Discover now