Jati Diri 2

218 27 1
                                    

Apakah dia akan mati di sini? Pikiran itu sudah memenuhi benaknya.

"Bangun, Nduk! Ayo bangun!" suara itu terdengar bersama sentuhan lembut di lengannya.

"Om Surip?!" Lastri menatap tak percaya.

Lastri masih menatap tak percaya. Ini mimpinya, terlalu sering dia jatuh dalam mimpinya yang membuatnya sangat mengenalnya. Dan lelaki ini, bagaimana bisa ada di dalam mimpinya? Apakah ini juga hanya mimpi? Mimpi di dalam mimpi?

Lastri sungguh tak peduli. Jika ada seseorang yang dia harapkan ada di sisinya saat ini, orang itu adalah dia. Dan sekarang lelaki ini di sini, ini membuatnya lega. Tanpa sadar Lastri menangis senang.

“Ayo bangun! Tidak apa-apa,” sekali lagi Om Surip berkata. Tangannya menarik lengan Lastri, membantunya berdiri.

Keadaan di sekelilingnya sudah kembali normal, setidaknya tanah di bawahnya tidak lagi berwarna hitam, dedaunan yang menguning sudah kembali menghijau, dan sekumpulan mayat hidup itu juga sudah menghilang.

“Kuatkan hati kamu. Dia datang.” Belum sempat Lastri mencerna apa yang baru saja terjadi, Om Surip kembali berkata. Tatapannya beralih ke arah di mana hampir bersamaan dengan munculnya Odelia.

“Siapa kamu?” wajah Odelia suram menatap Om Surip.

“Saya? Saya hanya orang tua.”

Ada jeda beberapa saat sebelum wajah suram itu dihiasi seringai dingin. “Jadi, kamu orangnya. Suka ikut campur urusan orang lain, sering tidak berakhir baik.”

“Terima kasih nasihatnya. Tapi, anak ini bukan orang lain.”

“Hahaha....” Odelia tertawa. “Apa kau tahu anak macam apa dia? Tidak ada yang bisa dibanggakan darinya. Bahkan orang tuanya sudah menyerah.”

Lastri tertunduk malu mendengarnya, tidak sedikit pun dia ingin membantah, Odelia sudah menilainya dengan benar. Dia memang bukan anak baik yang didambakan setiap orang tua.

“Saya tidak terkejut. Orang baik tidak mungkin mau bergaul denganmu.”

“Hahaha...” Sekali lagi Odelia tertawa. “Jangan bilang kamu rela mati untuknya.”

“Semuanya pada akhirnya akan mati.”

“Tapi, tidak semuanya akan mengalami kematian yang sangat menyakitkan.”

“Mungkin.” Tanpa sadar, tubuh Om Surip merinding.

“Untukmu, itu kepastian. Pergilah selagi bisa, rasa sakit itu terlalu mengerikan. Dia tidak pantas menerimanya.”

“Om.” Lastri menggenggam erat lengan Om Surip. Dia ketakutan, takut lelaki ini benar-benar akan meninggalkannya.

“Menurutmu saya bisa melakukannya?”

“Hahaha...” Untuk kesekian kalinya, Odelia tertawa. “Jadi orang baik memang selalu merepotkan. Terserah saja. Dia milikku. Kamu tahu tidak ada yang bisa mengubahnya.”

“Setidaknya, selama saya di sini, kamu tidak bisa melakukan apa-apa.”

Wajah dingin Odelia seketika kembali suram. “Saya akan memastikan kamu harus membayar mahal untuk menolongnya. Dan hanya kali ini kamu bisa menolongnya, kamu tidak memiliki kesempatan lain. Hahaha...” Odelia menghilang dari hadapan mereka. Suara tawanya terdengar semakin menjauh.

Ekspresi Om Surip mendingin, kengerian sekilas melintas di kedua matanya.

Horor yang tadi sudah hilang, kembali muncul usai tawa Odelia sempurna menghilang. Tanah di bawah mereka mulai menghitam perlahan, dedaunan di sekitar mereka mulai menguning, Lalu; tangan, kepala dan tubuh busuk, satu persatu merangkak keluar dari dalam tanah.

AFTER  KOMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang