M i m p i

994 62 2
                                    

Kekecewaan Yanti kelihatannya akan menjadi kenyataan. Sejak pulang kerja mamanya sama sekali tidak menyinggung tentang sekolah, sementara dia juga tidak berani menyinggungnya lebih dulu. Kekakuan di antara mereka sebenarnya sudah mencair, hanya kehangatan saja yang belum kembali ke suhu normal. Menjadikan ini sebagai hukuman, itu yang dilakukan Yanti untuk mengurangi rasa kecewanya.

Tidak adanya kegiatan menarik yang bisa dilakukan membuat Yanti memilih masuk ke dalam kamar. Sementara mamanya masih sibuk dengan pekerjaan kantornya yang dibawa pulang.

Tatapannya langsung saja tertuju pada tas yang ada di atas meja belajarnya. Itu tas sekolahnya. Dia sudah menyiapkannya sejak tadi pagi. Semua buku yang diperlukannya untuk pelajaran esok hari sudah memenuhi tasnya. Ada senyum di bibirnya saat dia mengeluarkan sebuah buku diary dari dalam tas. Senyumnya semakin nyata dan merekah saat mulai membuka dan membacanya. Diary itu hadiah dari teman-temannya. Di dalamnya penuh dengan tulisan doa dan harapan untuk kesembuhannya selama dia terbaring koma. Begitu banyak teman-temannya yang menulis di sana hingga membuat buku diary yang tebal itu hanya menyisakan beberapa lembar halaman kosong saja. Cerita yang dia dengar katanya buku diary itu terus beredar diantara teman-temannya, dari satu teman ke teman lainnya, dari satu kelas ke kelas lainnya.

Perasaan yang dirasakannya masih sama seperti saat pertama kali menerima dan membacanya. Senyum terus mengembang di wajahnya saat membaca lembar demi lembar. Dari sekian banyak tulisan di sana, ada dua halaman yang paling menarik perhatiannya. Dua halaman yang ditulis oleh dua orang teman dekatnya; Rina dan sati. Yanti dan kedua temannya itu memang sudah dekat sejak masih SMP. Seperti tiga serangkai yang tak terpisahkan, dimana ada Yanti maka pasti ada mereka.

Di dua halaman itu Yanti menemukan lingkaran-lingkaran kecil bekas lunturan tinta tulisan mereka. Tidak sulit baginya menduga apa penyebabnya, meski mereka berdua membantah dengan mengatakan bahwa itu adalah bekas tetesan keringat mereka. Yanti yakin itu adalah bekas tetesan air mata mereka. Memikirkan kenyataan itu membuatnya merasa beruntung memiliki teman seperti mereka. Mamanya juga pernah cerita kedua temannya itu tidak pernah absen menjenguknya di rumah sakit setiap hari, bahkan di tiga hari pertama mereka ikut menginap di rumah sakit menemani Mama. Andai saat itu Mama tidak melarangnya, mungkin setiap malam mereka masih akan ikut menginap di sana.

Waktu selalu terasa berjalan lebih cepat dari biasanya ketika kita tidak memedulikannya. Sudah lewat jam 11 malam ketika Yanti melirik jam dinding di kamarnya. Mulutnya menguap lebar memaksa air mata keluar dari kedua matanya yang sudah nampak memerah. Dia sedang memasukkan kembali buku diary ke dalam tasnya ketika perasaan itu kembali muncul, perasaan yang sudah dia akrabi sejak keluar dari rumah sakit, perasaan yang mengatakan bahwa saat ini dia sedang diawasi.

Dengan gerak cepat Yanti memutar tubuhnya, dengan cepat pula menyebar pandangannya ke seluruh ruangan. Namun seperti yang sudah-sudah, tidak ada siapa pun yang dia lihat atau temukan. Seperti yang sudah-sudah pula hanya ketegangan saja yang tertinggal di wajahnya. Tidak siang―tidak malam, perasaan itu sering muncul di saat dia sedang fokus melakukan sesuatu.

Helaan nafasnya terdengar cukup keras, berusaha mengurangi ketegangan di hatinya. Tidak ada penjelasan lain yang ingin dicarinya selain tetap menyalahkan kondisi kesehatannya yang belum sepenuhnya pulih. Ditambah dengan rasa kantuknya, membuat dia semakin tidak memedulikannya.

Yanti tidak mengerti apa yang terjadi, tiba-tiba saja dia sudah berdiri di suatu tempat. Angin yang berhembus kencang membuatnya belum memiliki kesempatan melihat ke sekitarnya. Dia harus memicingkan mata untuk melindunginya dari benda asing yang tertiup angin. Suara deru angin yang bercampur dengan suara serakan daun dan ranting kering menciptakan suasana mencekam. Sebuah rumah, dari sela-sela jari tangan yang menutup wajahnya Yanti samar melihat sebuah rumah tidak jauh di depannya. Hanya itu yang sempat dilihatnya sebelum segumpal daun kering menampar wajahnya, dan kesadarannya pun seketika hilang.

Kesadarannya kembali dia dapatkan bersama suara teriakan seorang lelaki yang mengejutkannya. Yanti mendapati dirinya sedang berdiri di depan seorang lelaki yang tergeletak bersimbah darah di sudut ruangan. Lelaki itu menatap ketakutan padanya, kengerian tergambar jelas di matanya. Yanti tidak mengerti kenapa lelaki itu menatapnya ketakutan? Pertanyaan yang segera dia dapatkan jawabannya saat menyadari tangan kanannya menggenggam sebilah pisau dapur yang berlumuran darah. Yanti sangat terkejut, seketika itu juga pisau itu terlepas dari genggamannya. Suara 'ting' masih sempat terdengar―suara akibat benturan pisau dengan lantai, sebelum untuk kedua kalinya Yanti kembali kehilangan kesadarannya.

Kedua mata Yanti terbuka, mendapati mamanya sedang berdiri membungkuk di depan tubuhnya yang terbaring di atas tempat tidur. "Mama," ucapnya.

"Eh, maaf. Mama membangunkan kamu, ya? Mama lagi nyelimutin kamu." Mama tersenyum manis, lalu duduk di tepi tempat tidur. Tangannya mengusap kening Yanti yang sedikit berkeringat.

"Terima kasih, Mah." Yanti balas tersenyum. Hidungnya menangkap keharuman bunga melati dari kain batik yang menyelimutinya. Tadi ternyata hanya mimpi, Yanti baru menyadarinya.

"Kenapa diam? Kamu tidak apa-apa, kan?"

"Saya tidak apa-apa, Mah."

"Kalau tidak apa-apa, ya sudah. Lanjutin tidurnya. Nanti sekolahnya kesiangan."

"Sekolah, Mah?!" Yanti berseru tidak percaya.

Mama tersenyum sambil mengangguk. "Kecuali kamu masih mau istirahat dulu di rumah."

Bukan jawaban yang diterima Mama, tapi pelukan. Yanti spontan melompat memeluknya.

"Anak Mama lebay, deh. Kayak baru dapat hadiah apa saja, girang banget." Mama tersenyum geli melihat reaksi putri semata wayangnya itu.

Hidung Yanti kembang-kempis menghirup keharuman bunga melati dari kain batik yang menyelimuti tubuhnya, keharuman yang entah sejak kapan sangat disukainya. Menurut cerita mama, kain batik ini dulunya adalah milik nenek. Kain batik yang juga sudah akrab dengannya karena dulu jika mama sedang sakit, nenek juga selalu menyelimutinya dengan kain batik ini. Ada rasa nyaman ketika kain batik ini menyelimutinya, begitu kata mama. Pendapat yang tidak ingin dibantah Yanti karena dia juga merasakan hal yang sama. Yanti tidak tahu sejak kapan mama mulai menyelimutinya dengan kain batik ini, tapi yang pasti kain batik ini sudah selalu menyelimutinya setiap pagi saat dia bangun tidur. Bahkan saat pertama kali tersadar dari komanya, kain batik dan keharuman bunga melatinya adalah dua hal pertama yang dirasakannya.

"Sudah, jangan diciumin terus. Kalau besok sampai kesiangan, jangan salahin Mama." Sekali lagi Mama merapikan kain batik yang menyelimuti tubuh Yanti sebelum melangkah pergi.

"Mah," Yanti memanggil.

"Apalagi, sayang?"

"Mama tidur di sini saja, nemenin Yanti."

"Ya, sudah. Tapi, Mama matiin lampu depan dulu ya," Mama menjawab sebelum melangkah keluar kamar.

Mama menyandarkan tubuhnya ke pintu kamar Yanti yang baru saja ditutupnya. Helaan nafas kelegaannya begitu nyata. "Terima kasih, ya Allah. Engkau sudah mengingatkanku," ucapnya.

Ada perubahan besar di raut wajahnya saat berbicara dengan Yanti dan di saat dia bersandar di pintu kamar. Raut wajahnya yang tenang saat tadi berbicara dengan Yanti seketika berubah tegang saat sudah berada di luar kamar. Butuh beberapa kali tarikan dan helaan nafas hingga akhirnya raut tegang itu mereda dari wajahnya.

Suara 'klik' yang biasanya tidak terlalu keras terdengar lebih keras dalam keheningan malam, suara yang segera diikuti dengan padamnya lampu ruang tamu. Mama kini melangkah menuju meja yang ada di ruang tengah, meja di mana tadi dia mengerjakan pekerjaan kantornya. Beberapa langkah sebelum sampai di meja, dia menghentikan langkah. Buku agenda yang ada di atas meja tiba-tiba bergerak sendiri, bergeser perlahan ke tepian dan akhirnya jatuh ke lantai. Tidak tampak ekspresi terkejut atau heran di wajahnya, justru kemarahanlah yang tergambar jelas di sana. Dengan tatapan tajam penuh amarah, dia menyebar pandangannya ke seluruh ruangan.

"Jangan pernah berpikir saya takut sama kamu, saya sama sekali tidak takut. Kamu tidak akan pernah bisa menyentuh anak saya, tidak akan pernah bisa. Saya tidak akan pernah membiarkannya." Kalimat itu penuh dengan geraman kemarahan meski tidak terlalu keras terdengar.

***

AFTER  KOMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang