Flash Back

846 50 1
                                    

Bukan salah Rina ataupun Sati jika sepagi ini mereka sudah kompak menggoda Yanti dengan sindiran-sindiran mereka. Wajah Yanti yang nampak sumringah pagi ini memang memancing pertanyaan nakal dari kedua temannya. Jawaban Yanti yang sebenarnya masuk akal bahkan apa adanya juga tidak menghentikan godaan mereka.

"Aku sudah bilang berkali-kali, dia cuma mengatakan maksudnya menemuiku, persis seperti yang dia katakan waktu ada kalian berdua." Sekali lagi, di parkiran motor sekolah, Yanti menjawab godaan kedua temannya.

"Tapi waktu ada kami, dia nggak bilang akan membantu kamu," sahut Sati.

"Mana aku tahu. Tanya saja sendiri sama dia."

"Tapi kamu nggak menolak bantuannya, kan...?" Kali ini giliran Rina yang menggoda.

"Kalian, kan, tahu aku emang lagi butuh bantuan. Kalau ada yang mau membantu, ya aku terima."

"Koma," kata Rina.

"Apaan koma?"

"Ya, itu tadi. Kalau ada yang mau membantuku, ya aku terima―koma, dengan hati berbunga-bunga, hahaha..." Rina dan Sati tertawa.

Untuk kesekian kalinya di pagi hari ini, Yanti menggeram jengkel. "Kalian nyebelin banget hari ini," katanya, lalu melangkah pergi. Aksi yang malah mengundang tawa teman-temannya. Rina dan Sati berlari menyusul sesaat kemudian.

"Jadi ceritanya nanti sepulang sekolah dia mau jemput kamu?" tanya Rina.

"Sudah tahu, nanya," sahut Yanti ketus.

"Cuma memastikan saja. Memastikan kalau kamu lebih memilih dibonceng dia daripada dibonceng teman baik kamu ini." Rina berlagak sedih.

"Ya sudah, kalau begitu nanti aku bonceng kamu saja. Gampang, kan!"

"Kasihan dianya, dong. Sudah jauh-jauh menjemput, eh yang dijemput malah milih bonceng orang lain," kini giliran Sati.

Entah untuk yang ke berapa kalinya, Yanti kembali menggeram jengkel. Dia langsung menghentikan langkahnya. "Terserah kalian, deh. Aku mau dibonceng siapa, kek, terserah. Jalan kaki juga nggak masalah," ucapnya. Kejengkelan yang sekali lagi malah mengundang tawa teman-temannya.

Kali ini mungkin geraman terkeras yang pernah dia lakukan, saking geramnya kakinya sampai menjejak-jejak lantai tanpa peduli tatapan teman-teman sekolahnya yang banyak berjalan berseliweran di sekitarnya. "Hari ini kalian nyebelin banget!" raungnya, lalu kembali melanjutkan langkahnya. Namun, tawa dari kedua temannya tidak berhenti, ikut mengiringi setiap langkahnya dengan setia.

Sungguh, pagi ini hati Yanti benar-benar jengkel, tapi yang membuatnya heran, sama sekali tidak ada rasa marah sedikit pun di hatinya. Dan sialnya, kelihatannya itu juga diketahui kedua temannya, tawa mereka terus saja menabuh gendang di kedua telinganya. Mau gimana lagi, mereka berjalan di kanan-kirinya. Kakinya dia langkahkan menuju kelas, masih ada sekitar 10 menitan lagi sebelum bel masuk.

Tidak jauh dari persimpangan selasar, Yanti tiba-tiba menghentikan langkah. Tangannya merenggang menghentikan langkah kedua temannya.

"Ada apa?" tanya Sati.

Tidak ada jawaban. Saat ini tatapan Yanti terfokus pada sesuatu di depannya, sesuatu yang tidak dimengerti kedua temannya.

"Yan, ada apaan, sih?" Sati mengulangi pertanyaannya.

"Aku melihatnya," jawab Yanti lirih. Wajahnya kini nyata menampakan ketegangan.

"Lihat siapa?" kini Rina yang bertanya. Tidak ada jawaban, namun fokus Yanti dengan wajah tegangnya sudah cukup bagi dia dan Sati untuk bisa menduganya. Mereka saling tatap, "Yan, jangan bercanda, deh. Masih pagi, nih," ucapnya pelan, bahkan nyaris berbisik.

AFTER  KOMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang