Jati Diri 1

295 26 4
                                    

Miss Voura meninggalkan rumah sakit dengan perasaan yang lebih baik, wajahnya tidak lagi sedingin saat dia datang tadi. Meski begitu, pandangannya lebih sering menatap lantai, masih tetap tidak memedulikan tingkah ganjil orang-orang di sekitarnya. Langkahnya terhenti ketika sebuah dinding menutup jalannya.

“Kenapa bisa sampai sini?” Miss Voura kebingungan sendiri menatap tembok di depannya. Dia menghela napas kesal setelahnya. “Kenapa rumah sakit suka sekali membuat selasar yang cuma bikin orang bingung,” gerutunya.

Miss Voura berbalik arah. Belum juga jauh dia berjalan, langkahnya kembali terhenti di pertigaan selasar. Tatapannya tertuju pada pintu sebuah ruangan di selasar arah kanannya. Dia termenung menatapnya, selama beberapa saat sebelum memutar pandangannya ke sekelilingnya.

“Itu ....” Pandangan Miss Voura kembali ke pintu itu. “Ya Tuhan, kenapa saya bisa kembali ke sini?” Matanya nanar menatapnya seakan pintu itu adalah manusia renta yang sedang merintih kesakitan mengiba memohon pertolongannya.

Selama kamu belum bisa menerima masa lalumu, selama itu pula dirimu belum akan utuh. Kalimat yang pernah diucapkan Mbah Slamet mengiang di telinganya.

“Bisakah saya melakukannya, Mbah? Bisakah saya menerimanya?” Miss Voura bergumam sendiri.

Kamu bisa, kamu Miss Voura yang terkenal. Di negeri ini tidak ada yang tidak mengenalmu. Lagipula, apa lagi yang kamu takutkan? Sebentar lagi kamu juga akan menjemput ajalmu.

Miss Voura mendengus, tatapan nanarnya berganti dingin. Dia berjalan kaku menuju pintu. Pintu itu tidak terkunci ketika dia mendorong pelan untuk membukanya.

Seakan memasuki lemari es, tubuh Miss Voura seketika itu menggigil. Cengkeraman tangannya di handel pintu mengencang seakan ingin menghancurkannya. Giginya mengatup erat, matanya perlahan terpejam.

Dia mendengarnya. Dia mendengar suara jeritan itu. Jeritan seorang gadis yang terbaring gelisah di atas tempat tidurnya. Di sekelilingnya beberapa orang hanya terpana kebingungan melihatnya.

“Apa itu?” Salah satu dari mereka bertanya pada seseorang yang sedang menyiapkan jarum injeksi.

“Obat penenang,” jawabnya.

“Kamu sudah gila. Dia sudah diberi obat penenang. Kamu mau membunuhnya?”

“Terus apa yang harus kita lakukan? Suaranya jeritannya bisa membuat pasien yang lain panik.”

“Seharusnya dia dikeluarkan saja dari sini, dia hanya bikin repot semuanya,” yang lain berkata.

“Apa yang terjadi sebenarnya? Kenapa dia tidak bisa dibangunkan?” yang lain menimpali.

Tidak ada yang mereka lakukan selain ribut dan panik sendiri, bahkan seakan lupa dengan gadis yang sedang menjerit-jerit ketakutan di hadapan mereka. Di saat itulah seorang lelaki setengah baya tiba-tiba masuk begitu saja. Tidak ada yang menegurnya, semuanya hanya melongo melihatnya. Lelaki itu menuju tempat tidur, sejak awal datang matanya hanya terfokus pada gadis yang sedang menjerit-jerit di atas tempat tidurnya.

“Nduk, bangun, Nduk. Ayo bangun.” Dia berbisik di telinga sang gadis. Jari jempol tangan kanannya menekan dahi sang gadis, sementara jari lainnya menekan ubun-ubunnya. Sesekali dia juga meniup ubun-ubun dan telinga sang gadis bersama mulutnya yang terus komat-kamit.

Berulang kali dia melakukannya; menekan, meniup dan berbisik membangunkan sang gadis. Hingga akhirnya,

“Whuaaa!” Sang gadis akhirnya terbangun. Terlonjak duduk dari tidurnya. Tapi, ketakutannya belum hilang.

“Ssstt ... tidak apa-apa. Sudah tidak apa-apa. Kamu sudah bangun. Kamu sudah bangun.” Lelaki itu berusaha menenangkan sang gadis.

Miss Voura membuka matanya, keduanya sudah basah oleh air mata. Dengan langkah kaku dan tertatih, dia melangkah masuk ke dalam ruangan. Menuju tempat tidur, duduk di tepiannya, mengusapnya lembut. Di sini, di ruangan ini, di atas tempat tidur ini peristiwa itu terjadi. Setiap hari, setiap malam. Obat penenang yang harus diminumnya setiap hari membuatnya semakin parah. Dia yang takut tidur karena takut bermimpi, dipaksa tidur dengan obat penenang itu.

AFTER  KOMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang