Amnesia

1.5K 79 1
                                    

Ekpresi wajah Yanti, gadis cantik yang masih duduk di bangku SMA kelas 2 itu nampak datar-datar saja saat melihat video streaming di layar laptop yang ada di hadapannya. Sebuah rekaman yang menayangkan liputan peristiwa kecelakaan yang sudah terjadi hampir tiga minggu yang lalu. Di sudut kanan bawah rekaman ada sebaris kalimat yang terbaca 'Courtesy of Indahrayanews.com'.

Ekspresi wajahnya masih tidak berubah bahkan ketika dia mem-pause rekaman tepat di gambar seorang gadis yang terbaring tidak bergerak di atas sebuah tandu yang digotong empat orang lelaki. Wajah gadis itu nampak kotor. Namun, masih cukup jelas untuk bisa dikenali bahwa wajah gadis itu sangat mirip dengannya.

Mata Yanti tidak lepas menatap sosok gadis itu, terus menatapnya hingga akhirnya mulai nampak perubahan ekspresi di wajahnya. Bukan ngeri, takut ataupun sedih. Itu ekspresi kekesalan. Gadis itu bukan hanya mirip dengannya, gadis itu adalah dia. Hanya masalahnya dia tidak pernah ingat peristiwa mengenaskan itu pernah terjadi dalam hidupnya. Apa yang dia tahu tentang kecelakaan itu hanya sebatas apa yang dia dengar dari cerita teman-temannya, dan sedikit dari mamanya. Satu orang tewas, dua orang terluka serius termasuk dirinya, dan belasan lainnya terluka ringan. Kenyataan yang sangat menjengkelkan baginya bagaimana bisa peristiwa setragis itu sampai terlupakan olehnya.

Ini bukan pertama kalinya dia melihat video itu, masih berharap dengan melakukannya akan ada sedikit titik terang baginya untuk bisa kembali mengingatnya. Namun, itu tetap tidak dia dapatkan.

"Berapa kali lagi Mama harus bilang? Mama tidak suka kamu melihat rekaman itu lagi."

Suara itu mengejutkan Yanti. Mamanya tanpa disadarinya sudah berdiri di belakangnya. Menatap kecewa padanya.

"Maaf, Mah." Tangan Yanti bergerak cepat menutup laptop di depannya.

Mama masih mengenakan seragam kerjanya, seragam seorang PNS. Hembusan nafas kekecewaannya terdengar nyata di telinga Yanti saat dia mengambil tempat duduk di depannya. Kekecewaan yang beralasan karena dia sudah melanggar larangannya. Yanti kini menunduk karena rasa bersalah.

Mengecewakan mamanya sebenarnya adalah sesuatu yang sangat dihindari Yanti. Sudah terlalu banyak pengorbanan yang sudah beliau berikan untuknya, terlebih sepeninggal ayahnya dua tahun yang lalu. Namun, dorongan rasa penasaran di hatinya yang begitu kuat membuatnya akhirnya melakukannya juga. Seharusnya itu tidak akan sampai mengecewakan mamanya andai dia tidak sampai melewati batas waktu yang ditetapkannya sendiri seperti beberapa hari sebelumnya. Ketidakmampuannya mengendalikan rasa kesal di hatinya, Yanti menyalahkannya sebagai penyebab meski sebenarnya Azan zuhur sudah sempat mengingatkannya.

Yanti sudah pasrah menerima kemarahan mamanya, namun apa yang ditunggunya tidak kunjung datang. Mama hanya duduk diam di tempatnya dengan wajah sedih yang justru malah membuat Yanti merasa semakin bersalah.

"Maafkan Yanti, Mah." Yanti meraih tangan mamanya, menggenggamnya erat.

"Dokter bilang kamu tidak perlu melakukan apapun. Kalau memang sudah saatnya, ingatan itu akan kembali sendiri. Walaupun kalau mama bisa memilih, mama lebih suka ingatan itu tidak pernah kembali. Tidak ada gunanya mengingat-ingat pengalaman buruk."

"Tapi, saya merasa aneh, Mah."

"Kamu tidak akan merasa aneh kalau kamu tidak terus-terusan memikirkannya. Kesehatan kamu belum pulih, Yanti. Seharusnya kamu istirahat, bukan malah memikirkan hal yang tidak-tidak."

"Saya sudah sehat, Mah. Saya sudah sembuh."

"Dokter belum bilang begitu. Kamu masih butuh istirahat. Kalau kamu seperti ini terus, Mama tidak jadi mengijinkan kamu sekolah."

AFTER  KOMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang