Keabadian 2

609 45 1
                                    

Karakter kamu ternyata tidak berubah. Tetap temperamen seperti dulu, kata Pak Dion. Senyum samar tersungging di sudut bibirnya.

"Bukan urusanmu!" sambar Miss Voura. Tangannya melepas cengkeraman di kerah pakaian Adam. Perhatiannya beralih pada Pak Dion. "Mengetahui banyak tentang masalah ini untuk seorang seperti kamu, itu ...."

"Seperti yang saya katakan tadi," Pak Dion menyela, "saya lebih dekat dengannya daripada kamu. Bisa dibilang, kamu adalah orang pertama yang saya tahu persis prosesnya."

"Proses apa?" tanya Indah.

"Proses menjadikan seseorang sebagai korbannya."
Geraman Miss Voura terdengar, "Kamu benar-benar brengsek!" makinya. "Kalau kamu tahu, seharusnya kamu memberi tahu saya!"

"Menurut kamu, saya bisa?" Tidak ada perubahan ekspresi apa pun di wajah Pak Dion meski Miss Voura tadi memakinya. Ekspresinya sejak awal memang selalu tenang, bahkan cenderung dingin.

"Bisa atau tidak, benar atau tidak, hanya kamu sendiri yang tahu. Yang pasti, saya masih hidup sampai sekarang."

"Sejujurnya, itu juga membuat saya heran."

"Kenapa?" tanya Adam.

"Kenapa kamu tidak bertanya padanya," Pak Dion menatap Miss Voura.

"Bukan urusan kalian," ucap Miss Voura dingin.

Pak Dion menarik napas, lalu mengembuskannya pelan. Tatapannya kemudian beralih pada Yanti dan mamanya. Derajat ketegangan di keduanya seketika meningkat.
"Maaf kalau saya terpaksa melibatkan anak Mbak. Tapi sungguh, saya sama sekali tidak tahu sebelumnya bahwa yang Odelia maksud adalah Yanti. Dia hanya bilang, seorang murid di sekolah itu adalah miliknya."

Mama merasa bulu kuduknya meremang. Miliknya, kata itu terdengar mengerikan di telinganya. Sudah ketiga kali ini dia mendengarnya, semuanya memberi memori menakutkan yang meresap hingga ke tulang sumsumnya. Pertama kali dia mendengar kata itu dari seorang nenek di malam dia kehilangan ibu dan putri sulungnya. Mereka milikku, tinggalkan mereka, begitu nenek itu pernah berkata. Kata yang sama untuk kedua kalinya juga dia dengar dari sosok hantu Sophia, di rumah sakit saat Yanti masih dirawat di sana. Dia harus ingat, dia milikku, begitu kalimat itu dia dengar dari hantu Sophia. Lalu sekarang ... "Ya Tuhan. Apa yang terjadi sebenarnya?"

"Apa maksudnya miliknya?" Pertanyaan itu terucap pelan dari bibir Mama yang bergetar.

Sekali lagi Pak Dion menarik napas. "Saya janji, Mbak. Apa pun yang bisa saya lakukan untuk memastikan keselamatan Yanti, pasti akan saya lakukan. Bahkan jika itu membuat saya harus mengorbankan hidup saya."

Naiknya derajat ketegangan kini merata ke semuanya. Perhatian semuanya kini tertuju pada Pak Dion. Cara bicaranya yang hati-hati dan terkesan berat, sudah cukup memberi mereka kesadaran bahwa masalah akan semakin mengerikan.

"Hari itu di perpustakaan sekolah, saya menemukannya kolaps."

"Siapa?" tanya Adam.

"Odelia," jawab Pak Dion. "Keadaannya memprihatinkan. Dia terduduk lemah di lantai. Sebagian rambutnya memutih, kulitnya juga terlihat mengeriput. Bayangan tentang bagaimana luar biasanya dia, saat itu sama sekali tidak terlihat. Dia begitu lemah, nyaris seperti orang sekarat. Dia bilang pada saya; 'Tolong saya, saya akan berikan apa pun yang kamu mau.'"

"Anda menolongnya?" tanya Adam lagi.

Tidak segera ada jawaban, Pak Dion menatap jauh menembus jendela.

"Di antara orang yang saya kenal, hanya dia yang bisa mengerti saya. Dia tahu semua kelemahan saya, keinginan saya, juga kemarahan saya. Saat itu dia seperti menawarkan sepotong roti kepada orang yang sedang kelaparan."

AFTER  KOMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang