Kehilangan

574 55 6
                                    

Apa yang paling menakutkan bagi seorang ibu? Dia kini sungguh sedang menghadapinya. Cerita yang dia dapat dari Adam sudah memastikannya.

Seperti biasanya, malam itu dia duduk menyelesaikan sisa pekerjaannya, sementara Yanti duduk belajar di depan TV yang menyala, tidak jauh darinya. Tidak ada yang berubah dengan sikap Yanti, anak gadisnya ini masih bersikap biasa-biasa saja. Tapi, sungguhkah memang seperti itu? Sungguhkah Yanti baik-baik saja? Tentu tidak. Dia masih bisa melihat kegelisahan darinya. Membayangkan seperti apa ketakutan Yanti yang sebenarnya, sudah membuatnya menangis sendiri. Putri semata wayangnya ini sedang sangat membutuhkan dukungan darinya. Seperti kata Adam,

"Yanti sedang sangat membutuhkan dukungan, Tante. Akan sangat meringankannya kalau dia tahu mamanya ada di sampingnya."

"Tante akan selalu ada di sampingnya. Tante hanya merasa sudah gagal sebagai seorang ibu. Ibu yang seharusnya bisa melindungi anaknya, menyamankan anaknya, membahagiakannya ...."

"Tante," Adam menghentikan racauannya. "Masalah ini masih belum jelas duduk permasalahannya. Saya rasa menyesalinya juga tidak akan memperjelas masalahnya. Yanti bahagia. Saya bisa melihatnya. Yanti bahagia menjadi anak Tante. Tante harus kuat, bahkan jika bisa lebih kuat dari Yanti."

Ya, dia memang harus lebih kuat. Sudah seharusnya seorang ibu lebih kuat dari anaknya. Apa pun untuknya, dia sanggup melakukannya.

Hanya tinggal Yanti yang dimilikinya. Semuanya sudah pergi meninggalkannya. Suaminya, ibunya dan .... Tubuhnya merinding. Cerita masa lalu yang sudah meninggalkan kenangan terburuk dalam hidupnya menyeruak ke permukaan. Menghempaskannya kembali ke dalam kengerian yang tak pernah berhenti mengganggu tidurnya. Dia tidak akan membiarkan semuanya terulang lagi, dia tidak akan membiarkan anaknya hilang lagi dari pelukannya.

*****

Kebahagiaan yang dirasakannya saat itu begitu memuncak. Setelah bertahun-tahun berharap, hari itu akhirnya Tuhan memberinya kepercayaan melahirkan keturunan. Bukan hanya satu, Tuhan memercayakan padanya dua bidadari kecil. Itu adalah momen paling membahagiakan dalam hidupnya.

Sungguhkah dua bidadari kecil ini lahir dari rahimku? Pertanyaan itu selalu berulang di hati dan pikirannya saat menatap keduanya.

Ruang kosong di antara dirinya dan suaminya akhirnya terisi. Dua bidadari kecil ini melengkapi kehidupan rumah tangganya, melengkapi kebahagiaan yang selama ini sudah dia dan suaminya nikmati, melengkapi dirinya sebagai seorang wanita.

Kebahagiaan begitu kental dia rasakan, hari demi hari, minggu demi minggu, membuatnya nyaris melupakan bahwa dunia ini tidak hanya melulu diisi dengan kebahagiaan. Kesadarannya dimulai malam itu.

Malam itu hujan turun dengan derasnya, petir yang disusul guruh menggelegar tiada henti. Bukan suara guruh yang merisaukannya, tapi tangis dari kedua putri kecilnya. Tubuh mereka tidak sedang demam, pertanda umum yang biasa ditemukan ketika anak kecil sedang sakit. Namun, entah kenapa tangis mereka tak mau berhenti.

Ini pengalaman baru baginya, pengalaman pertama kalinya dia merawat bayi. Dia sungguh tidak tahu apa yang harus dilakukannya, kebingungan dan kecemasannya membuatnya panik sendiri. Tidak ada orang lain di rumah ini yang bisa dia mintakan pertolongan. Suaminya sedang tidak berada di sisinya. Dia sedang bekerja di luar kota. Sebulan atau paling cepat dua minggu sekali dia baru pulang.

"Ya, Allah. Apa yang terjadi dengan anak saya?" Dia menangis menatap iba kedua putrinya.

Suara raungan kasar dari mesin sepeda motor mengalihkan perhatiannya. Suara itu berasal dari depan rumahnya. Di depan pintu yang baru saja dibukanya, dia terpaku menatap seorang wanita yang baru saja turun dari atas sepeda motor di bawah guyuran hujan.

AFTER  KOMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang